“Sehingga dalam satu tahun ke depan terjadi penurunan impor BBM jenis Solar sebesar 5,6 juta KL atau memberikan penghematan devisa sebesar US$ 4.096 juta,†kata Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo.
Penerbitan aturan ini merupakan salah satu paket kebijakan ekonomi guna memperbaiki defisit transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat. Biofuel terdiri dari biodiesel (substitusi solar), bioethanol (substitusi bensin) dan minyak nabati murni- Pure Plant Oil/PPO (substitusi BBM pada pembangkit listrik berbasis bahan bakar minyak-PLTD).
Penerapan mandatori pemanfaatan biodiesel akan diberlakukan untuk seluruh Badan Usaha Pemegang Ijin Usaha Niaga Umum BBM dan Pengguna Langsung BBM, serta Badan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. Pengertian dari Pengguna Langsung BBM adalah perorangan maupun Badan Usaha yang menggunakan BBM untuk kepentingan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.
Pada sisi teknis, peningkatan pencampuran 10% biodiesel dalam minyak solar (B-10) dapat langsung dilaksanakan karena telah memenuhi standar spesifikasi BBM jenis solar yang diatur dalam SK Dirjen Migas No. 3675K/24/DJM/2006. Standar kualitas biodiesel saat ini telah diperbaharui dengan mengacu kepada SNI 7182:2012 dan Keputusan Dirjen EBTKE No. 723 K/10/DJE/2013. Sedangkan untuk standar kualitas bioethanol mengacu kepada SNI 7390:2012 dan Keputusan Dirjen EBTKE No. 722 K/10/DJE/2013. Pencampuran bioethanol ke dalam BBM jenis bensin hingga maksimum 10%-vol telah diatur di dalam Keputusan Dirjen Migas No. 23204.K/10/DJM.S/2008. Untuk standar kualitas minyak nabati murni untuk Bahan Bakar Motor Diesel Putaran Sedang mengacu pada Keputusan Dirjen EBTKE No. 903 K/10/DJE/2013.
Pemanfaatan BBN
telah dimulai sejak tahun 2006 dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 2006. Sejak tahun 2009, Pemerintah telah memberlakukan kebijakan
mandatori pemanfaatan BBN pada sektor transportasi, industri dan pembangkit
listrik melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan,
Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar
Lain. Saat ini, kapasitas terpasang biodiesel telah mencapai 5,6 juta kL/tahun
dari 25 produsen biodiesel yang telah memiliki izin usaha niaga BBN. Sebesar
4,5 juta kL/tahun diantaranya telah siap berproduksi. Sementara itu, kapasitas
produksi bioetanol tercatat sebesar 416 ribu kL/tahun dari 8 produsen bioetanol
yang telah memiliki izin usaha niaga BBN, dan yang siap berproduksi mencapai
200 ribu Kl/tahun.
Sebagai gambaran, produksi biodiesel di dalam negeri pada tahun 2012 sebesar
2,2 juta KL, atau meningkat 4 kali lipat dari tahun 2010 yang hanya sekitar 500
ribu KL. Sedangkan pada tahun berjalan (per tanggal 11 Agustus 2013), produksi
biodiesel telah mencapai 954 ribu KL dan
yang dimanfaatkan di dalam negeri sebesar 462 ribu KL.
Menurut Susilo, produksi dan pemanfaatan biodiesel tersebut memang menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Apalagi setelah pemerintah mulai meningkatkan volume pencampuran biodiesel pada minyak solar menjadi 7,5% pada awal 2012 dari sebelumnya hanya 5%. Namun jika dilihat dari kapasitas terpasang industri biodiesel nasional yang mencapai 5,6 juta kL/tahun, pemanfaatan biodiesel di dalam negeri masih sangat kecil dan memiliki peluang untuk dioptimalkan. Untuk pemanfaatan bioethanol, sejak tahun 2010 tidak dapat direalisasikan dikarenakan faktor Harga Indeks Pasar (HIP) bioethanol belum cukup menarik bagi produsen bioethanol.
Hingga saat ini, Pemerintah telah melaksanakan implementasi pemanfaatan BBN
pada:
a. Sektor transportasi (B-7,5 pada BBM PSO dan B-2 pada BBM Non PSO).
b. Subsektor industri (B-2 industri pertambangan mineral dan batubara) dan akan diperluas pada subsektor industri lainnya secara bertahap.
c. Sektor pembangkitan listrik
Pemerintah dengan persetujuan DPR RI, juga telah menyediakan alokasi subsidi untuk pemanfaatan biodiesel di sektor transportasi PSO sebesar Rp 3000 per liter dan bioethanol Rp 3500 per liter pada APBN-P 2013 dan RAPBN 2014. (TW)