Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan hal
tersebut saat membuka Munas IX Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo) di Hotel and Convention Center JS Luwansa, Jakarta, Senin (8/4) siang.
"Sekarang pada tahap pematangan, KEN (Komite Ekonomi Nasional)
memberikan pandangan, pemerintah sendiri sedang mengolah, dunia usaha silakan
memberikan pandangan. Yang jelas, menjadi prioritas kami tahun ini dan tahun
depan fiskal harus makin sehat, terjaga, dengan demikian bangunan ekonomi
nasional terjaga dengan baik," kata Presiden SBY.
Ada sejumlah opsi untuk mengurangi beban subsidi BBM tersebut, antara lain
menaikkan harga BBM secara pukul rata atau berlaku bagi semua. Bisa juga yang
naik BBM untuk kelompok yang tidak patut mendapatkan subsidi, yakni orang kaya
dan mampu.
Jika pilihan kenaikan harga BBM yang diambil, inflasi naik. Bila hal itu
terjadi, kemiskinan akan meningkat. Selama memimpin pemerintahan, SBY tiga kali
punya pengalaman menaikan harga BBM bersubsidi. Tahun 2005 dua kali dan tahun
2008 satu kali. Pada saat kenaikan, harga-harga kebutuhan melambung tinggi.
"Pada tahun 2005 kemiskinan kita naik 3-4 persen, untuk menurunkannya
kembali dibutuhkan waktu 3-4 tahun," Presiden SBY menjelaskan.
Tetapi ketika BBM kita turunkan tiga kali pada tahun 2008, dari Rp 6 ribu
menjadi Rp 5500, turun lagi menjadi Rp 5 ribu, kemudian Rp 4.500, ternyata
harga-harga tidak ikut turun. "Itu tidak terjadi. Jadi elastisitas harga
barang dan jasa terhadap harga BBM itu rendah sekali," ujar SBY.
Presiden menegaskan, bila harga BBM harus dinaikkan, maka akan adil bila rakyat
tidak mampu mendapatkan kompensasi. Persoalan ini harus dibicarakan secara
terbuka.
"Kalau ada penolakan, mungkin dari parlemen, takut ini dikaitkan dengan
pemilu 2014. Marilah kita bicara. Tidak adil kalau kebijakan yang kita ambil
agar fiskal tetap baik tetapi yang menderita kaum miskin. Mari kita bikin
fiskalnya bagus, kaum miskin tidak menderita," SBY menandaskan. (Tursilowulan)