“Setelah fracturing,
gas sudah berproduksi. Karena itu pengembangan shale gas harus paralel dengan infrastruktur,†papar Direktur
Pembinaan Usaha Hulu Migas Naryanto Wagimin dalam seminar mengenai pengembangan
gas di Hotel Borobudur, kemarin.
Berdasarkan hasil studi ke Amerika Serikat yang telah
sukses mengembangkan shale gas,
lanjut Naryanto, di negara tersebut terdapat perusahaan yang khusus
memfasilitasi infrastruktur shale gas dari produsen ke konsumen.
Peluang inilah yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan dalam dan luar negeri,
terkait pengembangan shale gas di
Indonesia.
“Untuk infrastruktur, bisa dibangun KKKS atau perusahaan
lain. Contohnya, ketika Rain Resources
membangun facturing gas, ketika dia
sudah mulai ngebor, sudah negosiasi
dengan perusahaan swasta yang akan membangun fasilitas untuk sampai ke konsumen.
Kalau di (negara) kita kan
dikasih kebebasan. Ini bisa dimanfaatkan,†tambah Naryanto.
Mengenai investasi pengembangan shale gas, kata Naryanto, untuk setiap sumur, di AS dibutuhkan
biaya sekitar US$ 5 juta. Sementara di Indonesia, diperkirakan sekitar US$ 9-10
juta karena ada penambahan untuk social
cost.
“Investasinya kalau di Amerika, mulai dari ngebor sampai fracturing sekitar US$ 5 juta per sumur.
Tapi daerahnya berbeda karena di sana, jarak satu rumah dengan rumah
lainnya jauh. Kalau kita kan berdekatan. Jadi ada social cost-nya,†ujarnya.
Pengembangan shale gas diatur dalam Permen ESDM No 05
Tahun 2012 tentang Tata Cara Penetapan Dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak Dan
Gas Bumi Non Konvensional. Dalam aturan tersebut, antara lain ditetapkan bahwa
pengusahaan migas non konvensional tunduk dan berlaku ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang kegiatan usaha migas, meliputi kegiatan eksplorasi
migas non konvensional dan eksploitasi migas non konvensional.
Potensi shale gas Indonesia
diperkirakan sekitar 574 TCF. Lebih besar jika dibandingkan CBM yang
sekitar 453,3 TCF dan gas bumi 334,5 TCF.