“Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) harus menyiapkan
alat-alat dan teknologi baru untuk dipakai di lapangan migas yang dikelolanya.
Apalagi, tiap-tiap KKKS mempunyai kasus yang berbeda dalam menyikapi penerapan
UU tersebut. Jadi bukan hal yang mudah untuk diterapkan di industri hulu migas.
Paling cepat butuh waktu tiga tahun waktu transisi,†kata Kepala Dinas Hubungan
Masyarakat dan Hubungan Kelembagaan BPMIGAS Sulistya Hastuti Wahyu, dalam
siaran persnya.
Dia mencontohkan, kewajiban menurunkan temperatur air
limbah dari 45 derajat celcius menjadi 40 derajat celcius. Rencana kerja
Pertamina EP yang akan melakukan reinjeksi air terproduksi untuk mengurangi
temperatur tersebut diperkirakan baru selesai tahun 2011.
“Karena butuh studi sub surface dan pekerjaan
pengeboran terlebih dahulu. Belum lagi proses pengadaan, fabrikasi, konstruksi,
dan operasinya,†katanya.
Contoh lain, kandungan markuri pada air terproduksi yang
melebihi izin pembungan limbah cair yang dialami Conoco Phillips di Lapangan
Belanak, Natuna. Dengan penetapan merkuri rata-rata 40 ppm, Conoco perlu
melakukan pengkajian ulang engineering dan instalasi fasilitas tambahan
yang direncanakan baru kelar 2014.
Sulistya mengatakan, kalaupun akhirnya diputuskan tidak
ada waktu transisi, KKKS dipastikan tetap akan mengikuti aturan yang ada.
Namun, implikasinya, produksi minyak dan gas bumi akan turun secara signifikan.
Bahkan, diperkirakan bisa mencapai 50 persen dari total produksi migas
nasional. Rata-rata produksi minyak hingga Maret berkisar 954 ribu barel per
hari, sedangkan gas sekitar 8.757 juta kaki kubik per hari.
Pengurangan produksi, kata dia, harus ditempuh karena
terdapat ancaman saksi pidana dan denda bagi perusahaan yang melebihi ambang
batas baku yang sudah ditetapkan.
“Kontraktor pasti tidak ingin mengambil resiko denda,
apalagi dipenjara,†kata Sulistya.
Dengan kondisi ini, pihaknya berharap, seluruh pihak
terkait duduk bersama guna memutuskan kebijakan terbaik mengenai masalah ini.