Seiring dengan pesatnya
perkembangan ekonomi, pencarian terhadap suatu sistem energi yang ramah
lingkungan dan efisien mengharuskan kita untuk melihat sumber energi lain
selain minyak dan gas bumi. Penggunaan batubara sebagai sumber energi utama
juga semakin hari semakin meningkat di beberapa negara terutama sebagai bahan
bakar pada pembangkit listrik, industri semen, dan industri-industri lainnya. Sesuai
dengan kebijaksanaan pemerintah tentang penganekaragaman atau diversifikasi
energi, batubara merupakan alternatif energi pengganti minyak bumi dan gas
untuk masa kini maupun masa-masa mendatang.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara tanggal 12 Januari 2009, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan, ditegaskan komitmen
Pemerintah untuk terus mengoptimalkan manfaat dari kegiatan subsektor
pertambangan non-migas, termasuk batubara, bagi kepentingan negara dan
masyarakat. Dalam konteks pasar dunia, Indonesia merupakan salah satu produsen
dan eksportir batubara uap (steam coal)
utama di dunia meskipun konsep kebutuhan dalam negeri tetap lebih diutamakan
daripada untuk ekspor.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara, antara lain mengamanatkan bahwa pemegang
Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi, IUP Khusus (IUPK) Operasi
Produksi, dan IUP Operasi Produksi khusus pengolahan dan pemurnian batubara,
wajib melakukan pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah batubara yang
diproduksi, baik secara langsung maupun kerja sama dengan perusahaan pemegang
IUP dan IUPK lainnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan dan
mengoptimalkan nilai tambang, tersedianya bahan baku, penyerapan tenaga kerja,
dan peningkatan penerimaan Negara.
Indonesia mempunyai sumber daya batubara yang cukup
besar, yaitu mencapai 105,7 milyar ton. Sebagian besar sumber daya tersebut
termasuk ke dalam batubara peringkat rendah berupa lignit dan sub-bituminus.
Tingginya kadar air menyebabkan rendahnya nilai kalor, sehingga pemanfaatan
batubara jenis ini menjadi terbatas dan sulit untuk dipasarkan, terutama
menyangkut masalah transportasi. Harga jual batubara peringkat rendah sangat
murah dan tidak ekonomis untuk diekspor. Dilain pihak, pemanfaatan batubara
peringkat rendah perlu untuk terus ditingkatkan sebagai upaya pemenuhan energi
di dalam negeri dan sebagai sumber devisa negara. Oleh karena itu,teknologi pemanfaatan batubara peringkat
rendah perlu untuk terus dikaji dan dikembangkan agar dapat segera diterapkan
pada skala komersial.
Berbagai penelitian mengenai pemanfaatan batubara sebagai
bahan bakar, telah banyak dilakukan oleh para peneliti baik di Indonesia maupun
di luar negeri.Penelitian-penelitian
tersebut pada umumnya dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan bahan bakar
berbasis batubara yang relatif bersih seperti halnya BBM. Sebagaimana diketahui,
BBM merupakan bahan bakar cair yang relatif bebas abu dan belerang serta nyaman
saat digunakan. Dari beberapa teknologi pemanfaatan batubara yang berkembang di
dunia saat ini, teknologi coal water mixture
(CWM) merupakan suatu hal yang sangat menarik, mengingat sifat fisiknya
yang berupa cairan seperti halnya BBM. CWM merupakan salah satu dari ketentuan
pengolahan dan pemurnian batubara sebagaimana tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tersebut di atas, di samping penggerusan batubara
(coal crushing), pencucian batubara (coal washing), pencampuran
batubara (coal blending), peningkatan mutu batubara (coal upgrading),
pembuatan briket batubara (coal briquetting), pencairan batubara (coal
liquefaction), dan gasifikasi batubara (coal gasification).
Salah
satu keuntungan pemanfaatan batubara dalam bentuk CWM adalah sifat alirnya yang tergolong bersifat cairan
(fluida), sama dengan sifat alir bahan bakar minyak (BBM). Sifat fisik CWM
berupa suspensi dan tidak dapat dibakar secara langsung. Cara pembakaran CWM
adalah dengan cara injeksi ke dalam tungku yang sebelumnya telah dipanaskan,
sehingga CWM lebih cocok untuk dimanfaatkanpada pembangkit tenaga listrik dan
pembangkit tenaga uap, serta industri semen dan industri lainnya
yang biasa menggunakan boiler sebagai
penghasil uap dengan sedikit modifikasi
(Hashimoto, 1997). Saat ini kebutuhan minyak bakar (marine fuel oil=MFO) untuk industri di Indonesia mencapai 2,45 juta
kiloliter/tahun. Jika industri tersebut beralih ke CWM, maka diperoleh
penghematan sebesar Rp 1,225 triliun/tahun.
Batubara peringkat rendah
Indonesia jika digunakan sebagai bahan baku, akan menghasilkan CWM
dengan konsentrasi batubara yang rendah, sehingga nilai kalor menjadi rendah
pula. Untuk mengatasi hal tersebut, maka batubara peringkat rendah perlu
mengalami proses upgrading terlebih
dahulu, baik dengan proses upgraded brown
coal (UBC) maupun hot water drying
(HWD).
Keuntungan
penggunaan batubara dalam bentuk CWM antara lain:
•Sifat alirnya yang tergolong bersifat cairan (fluida) sama dengan sifat
alir bahan bakar minyak (BBM).
•Dapat digunakan
langsung sebagai bahan bakar cair
menggantikan minyak bakar di kilang-kilang minyak atau industri lainnya yang
biasa menggunakan minyak bakar berat (heavy
fuel oil) sebagai bahan bakar untuk pengolahan produknya.
•Penanganan sama
dengan penanganan minyak berat. Memungkinkan
pengiriman/pengangkutan CWM di antara berbagai lokasi di dalam/luar
instalasi/pabrik lewat pipa.
•Dapat menggunakan boiler yang sama dengan boiler yang biasa digunakan untuk minyak
berat dengan melakukan sedikit
modifikasi
•Batubara dalam bentuk suspensi dapat ditangani secara lebih bersih hingga
menunjang program bersih lingkungan dan terhidar dari kemungkinan terjadinya
pembakaran spontan, peledakan dan masalah debu yang biasa ditimbulkan batubara dalam bentuk
serbuk.
Sifat fisik CWM berupa
suspensi dan tidak dapat dibakar secara langsung. Cara pembakaran CWM adalah
dengan cara injeksi ke dalam tungku yang sebelumnya telah dipanaskan,
sehingga CWM lebih cocok untuk dimanfaatkanpada pembangkit tenaga listrik dan
pembangkit tenaga uap, serta industri semen dan industri lainnya
yang biasa menggunakan boiler sebagai
penghasil uap dengan sedikit modifikasi. Di
China, pemanfaatan batubara dalam bentuk CWM telah banyak diterapkan pada
berbagai industri dengan total konsumsi
mencapai 10 juta ton batubara/tahun.
Pembuatan CWM
Proses pembuatan CWM dilakukan
tanpa melalui proses pemanasan dan penekanan. Hal ini berbeda dengan proses pembuatan
CTL (Coal to Liquid) yang dilakukan
pada temperatur dan tekanan relatif tinggi (400ËšC, 100 Bar), produk berupa sintetic crude oil (SCO) yang dengan
proses fraksinasi dapat menghasilkan light
oil, medium oil, heavy oil, LPG atau sebagai bahan bakuindustri kimia. Peruntukan CWM dan CTL
berbeda; CWM diperuntukkan bagi industri yang biasa menggunakan minyak bakar (heavy oil/marine fuel oil=MFO),
sedangkan CTL lebih banyak dipakai pada sektor transportasi.
Teknologi
pembuatan CWM sebenarnya cukup sederhana, yaitu dengan mencampurkan batubara (ukuran
< 200 µm), aditif (< 0,5%) dan air dalam perbandingan tertentu. Dengan
adanya pengungkungan/penjebakan batubara di dalam air, maka CWM mempunyai sifat
yang sama dengan BBM (minyak berat) sehingga bisa dialirkan atau dipompa untuk
transportasi maupun pembakaran. Dengan demikian CWM dapat digunakan untuk bahan
bakar tanpa banyak mengubah boiler.
Sebagai bahan bakar, ada
beberapa karakteristik CWM yang perlu diperhatikan, yaitu:
·Stabil, selama penyimpanan, pengangkutan
dan pembakaran,
·Mempunyai konsentrasi batubara yang
tinggi,
·Mudah dilairkan melalui pipa baik
saat pengangkutan maupun saat pembakaran
·Mudah dibakar dengan temperatur nyala
yang tinggi.
Batubara sebagai bahan baku
pembuatan CWM sebaiknya batubara dengan kadar air yang relative rendah
(<10%). Karena batubara dengan kadar air yang tinggi (lignit dan
sub-bituminus) biasanya bersifat hidrofilik, yaitu sifat menyukai air sehingga
air yang diperlukan untuk pembuatan CWM lebih besar. Dengan tingginya kadar air
dalam CWM, maka viskositas CWM rendah sehingga kestabilan menurun. Selain itu, semakin
tinggi kandungan batubara dalam CWM, semakin tinggi nilai kalor CWM tersebut
sehingga akan semakin mudah terbakar. Selain
itu, CWM dengan kadar air yang tinggi akan memerlukan energi yang lebih besar
untuk penguapannya. Saat penguapan, proses penyalaan tertunda dan dapat
menurunkan suhu tungku saat pembakaran awal.Namun, jumlah batubara dalam CWM akan mencapai
suatu titik optimal karena CWM harus mempunyai sifat alir yang baik hingga
dapat dialirkan melalui pipa.
Adapun CWM yang akan digunakan
sebagai bahan bakar harus mempunyai sifat alir sebagai berikut:
Mempunyai nilai yield stressyang tinggi hingga
dihasilkan CWM dengan kestabilan yang baik, baik dalam keadaan statis
maupun dinamis.
Mempunyai viskositas yang tinggi saat
penyimpanan, viskositas sedang pada saat pengangkutan dan viskositas
rendah saat pembakaran.
Pembakaran dilakukan dengan
menyemprotkan CWM menggunakan pompa ke tungku pembakaran yang telah dipanaskan
terlebih dahulu (sistim injeksi). Pembakaran adalah reaksi eksotermik antara
bahan bakar dengan oksigen. Komponen yang paling penting dalam proses
pembakaran adalah burner, yaitu suatu
alat untuk mengendalikan pencampuran udara dengan bahan bakar untuk
menghasilkan nyala api yang stabil. Secara umum, proses pembakaran CWM meliputi
2 tahap, yaitutahap penguapan air dan
tahap penyalaan.
Proses penguapan air dalam CWM
ini dapat menunda proses penyalaan dan menurunkan temperatur tungku. Semakin
banyak jumlah air dalam CWM, semakin banyak pula energi yang diperlukan. Oleh karena itu, nilai kalor CWM harus dapat
mencukupi energi yang diperlukan untuk proses penguapan air tersebut. Setelah proses
penguapan air selesai, batubara dalam CWM mulai terbakar dan peristiwa
pembakaran batubara yang terjadi sama dengan peristiwa pembakaran batubara pada
pembakaran bahan bakar padat.
Hasil Penelitian
Hasil
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa CWM dengan menggunakan
batubara hasil proses upgrading, baik
dengan upgraded brown
coal (UBC)
maupun hot water
drying (HWD)mempunyai kandungan batubara
tertinggi, yaitu ± 62% dibandingkan dengan lignit, sub-bituminus dan
bituminus, masing-masing ± 50 %, ± 55 % dan ± 60 % dengan menggunakan jenis dan
jumlah aditif yang sama, yaitu poly
styren sulfonat (PSS) dan carboxy
methyl cellulose (CMC) masing-masing 0,5 dan 0,01 % berat.Ukuran partikel batubara ± 80% lolos saringan 200 mesh
atau ukuran 75 µm
dengan viskositas <1.000 cP.
Hasil percobaan pembakaran CWM menunjukan bahwa
pada suhu diatas 600 °C, CWM dapat terbakar dan stabil pada suhu 800-900 °C
dengan nyala api yang sempurna yang dapat digunakan sebagai bahan bakar boiler penghasil uap. Semakin tinggi
kandungan batubara dalam CWM, semakin mudah CWM tersebut untuk dibakar dan
semakin tinggi suhu yang dihasilkan.
Penggunaan
dan Keekonomian CWM
CWM sebagai bahan bakar berbasis batubara dengan
sifat fisik berupa cairan/fluida dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti
BBM, baik di industri maupun pembangkit listrik, terutama untuk industri yang
menggunakan boiler dengan bahan bakar minyak berat (heavy oil), mengingat viskositas dan sifat alir (rheologi) CWM yang
hampir sama dengan minyak berat.
Biaya produksi CWM, pembiayaan untuk bahan aditif
merupakan suatu hal yang penting, karena harganya yang relatif mahal. Sebagai
ilustrasi, untuk menghasilkan 1 ton CWM dengan bahan aditif sekitar 0,3%,
sekitar 32,3% dari total biaya produksi adalah biaya untuk bahan aditif.Oleh karena itu penelitian pembuatan CWM
perlu untuk terus dilakukan, terutama untuk mendapatkan jenis aditif produk
lokal yang tentunya akan jauh lebih murah dibandingkan dengan aditif
impor.
Untuk menghitung keekonomian CWM, perhitungan
didasarkan kepada biaya produksinya. Sebagai bahan bakar alternatif pengganti
BBM, harga CWM tergantung pada beberapa faktor yang cukup kompleks. Formula
yang sederhana adalah:
Harga CWM = (Harga batubara di area tambang) +
(biaya proses termasuk biaya pengolahan dan upgrading)
+ (biaya transportasi, penyimpanan, penanganan dan lain-lain)
Ini berarti bahwa, CWM akan
kompetitif dibandingkan dengan batubara dalam bentuk serbuk/bongkah, jika biaya
transportasi, penyimpanan dan penanganan lebih murah dibandingkan dengan
batubara dalam bentuk serbuk/bongkah. Namun, kenyataan bahwa CWM adalah bahan
bakar cair yang mudah dalam penanganannya, dapat dialirkan melalui pipa, bebas
dari masalah debu maupun dari pembakaran spontan, perlu untuk dipertimbangkan
penggunaannya.
Saat ini kebutuhan minyak
berat untuk industri yang berada di sekitar Jabodetabek dan Lampung yang berpotensi
untuk beralih ke CWM mencapai 2,45 juta kiloliter/tahun dengan biaya sebesar Rp
8,575 triliun (harga minyak berat = Rp. 3,5 juta/kiloliter). Jika industri
tersebut beralih ke CWM, maka kebutuhan CWM adalah 4,9 juta kiloliter/tahun
(untuk menghasilkan energi yang sama, 1 kiloliter minyak berat setara dengan
sekitar 2 kiloliter CWM) dengan biaya sebesar Rp. 7,350 triliun (harga CWM =
Rp. 1,5 juta/kiloliter). Dari pengalihan minyak berat ke CWM ini akan diperoleh
penghematan sebesar Rp 1,225 triliun/tahun. Apabila industri-industri yang
berada di luar Jabodetabek dan Lampung juga beralih ke CWM, maka tentunya
penghematan negara akan lebih besar lagi diperkirakan akan mencapai nilai lebih
dari Rp. 2 triliun/tahun.
Sebagai bahan bakar baru, CWM
perlu diperkenalkan dan disosialisasikan secara luas dan terbuka terutama
kepada industri-industri yang biasa menggunakan boiler dengan bahan bakar
minyak berat. Pabrik CWM dengan menggunakan batubara hasil proses HWD, yaitu
HWTCS skala percontohan dengan kapasitas 10.000 ton/tahun yang sedang dibangun
di Karawang, Jawa Barat diharapkan dapat menjadi sarana untuk mempercepat
penerapan CWM di Indonesia selain juga untuk meningkatkan kemampuan para
peneliti dan perekayasa khususnya di lingkungan Puslitbang tekMIRA dalam melakukan penelitian dan pengembangan pada skala yang
lebih besar.