Menurut Tengku M. Nurlif, anggota DPR RI asal Aceh dalam
pertemuannya dengan jajaran Ditjen Migas, Jumat (20/6), mengemukakan, PP ini
merupakan penjabaran UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, di mana
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya
alam migas yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh.
“PP ini sangat penting bagi masyarakat Aceh karena
mendapat lex specialist mengelola sumber daya alam migas bersama
pemerintah pusat. Jika PP ini tidak segera diselesaikan, dapat memicu konflik
di daerah,†kata Nurlif yang hadir bersama sekitar 10 anggota DPRD Aceh yang
dipimpin Tengku Waisul Qarani Ali.
Jika PP dapat segera diselesaikan, tutur Nurlif, maka
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh dapat segera membentuk badan pelaksana.
Ia juga meminta, agar sebelum PP ini ditetapkan, semua
kontrak kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi
dihentikan sementara karena sesuai dengan UU mengenai Pemerintah Aceh, kontrak
kerja sama harus mendapat persetujuan Pemerintah Aceh dan DPR Aceh.
Menjawab hal tersebut Sesditjen Migas M. Teguh Pamudji
menjelaskan, secara substansi pihaknya optimis PP ini dapat diselesaikan
sebelum akhir tahun. Hanya masalahnya, penyusunan PP sebagai tindak lanjut UU
No 11 tentang Pemerintahan Aceh, dipimpin oleh Departemen Dalam Negeri.
Untuk mempercepat penyusunan PP, Teguh menawarkan dua opsi
yaitu Departemen ESDM dan Pemerintah/DPRD Aceh membentuk tim untuk membahas hal
ini dan kemudian menyampaikannya kepada Depdagri atau langsung bersama-sama tim
seluruh instansi terkait.
Atas opsi itu, DPRD Aceh lebih memilih membentuk tim bilateral
Departemen ESDM dengan Pemda Aceh. Mereka akan meminta wewenang untuk menyusun
PP kepada Depdagri.
“Selain DPRD Aceh yang menyatakan ke Depdagri, kami juga
akan berkoordinasi. Begitu diijinkan, langsung kita kerjakan maraton. Tak ada
masalah,†tegas Teguh.