“Kalau dulu kan produksi minyaknya turun dulu, baru KKKS melakukan studi. Sejak tahun 2008, untuk KKKS baru, agar diberikan (disetujui) POD-nya, sudah diwajibkan untuk melakukan studi karakteristik reservoir-nya seperti apa. Sudah dimulai sedikit-sedikitlah. Jadi nanti penurunan produksinya lebih lama karena telah dilakukan upaya sebelumnya,†kata Dirjen Migas Kementerian ESDM A. Edy Hermantoro di Blora, akhir pekan lalu.
Persyaratan EOR ini tidak diatur dalam kontrak-kontrak migas lama karena pada masa lalu, pemerintah cenderung hanya memikirkan hal-hal inti saja seperti kuantitas produksi minyak. Terhadap kontrak lama ini, pemerintah menetapkan Permen ESDM No 06 Tahun 2010 tentang Peningkatan Produksi Migas yang isinya, antara lain KKKS memproduksikan kembali lapangan yang pernah berproduksi, salah satunya melalui teknologi EOR. Untuk itu perlu dilakukan inventarisasi lapangan yang tidak berproduksi namun berpotensi.
Hingga saat ini,
beberapa KKKS telah melakukan EOR
seperti PT Medco E&P di Lapangan Kaji-Semoga, Rimau Asset, Sumatera Selatan
yang diharapkan memberikan tambahan produksi minyak sebesar 1.200 barel
minyak per hari (BOPD) dan Lapangan Surfaktan Minas, Rumbai, Provinsi Riau,
yang dikelola PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dengan biaya US$ 165 juta.
Teknologi
EOR merupakan salah satu metode
pengurasan minyak tingkat lanjut untuk mengoptimalkan produksi sebuah lapangan
migas. Ada tiga macam teknik dengan menggunakan EOR, pertama, teknik termal dengan menginjeksikan fluida
bertemperatur tinggi ke dalam formasi untuk menurunkan viskositas minyak
sehingga mudah mengalir.
Kedua, menggunakan teknik chemical
yaitu dengan menginjeksikan bahan kimia berupa surfaktan, hasilnya minyak dapat
lebih mudah mengalir. Ketiga, proses miscible
yaitu dengan menginjeksikan fluida pendorong yang akan bercampur dengan minyak
untuk lalu diproduksi. (TW)