Jakarta, Indonesia dan Korea telah sejak lama menjalin hubungan bilateral, termasuk di sektor energi. Untuk semakin memperkuat kerja sama tersebut, kedua negara menyelenggarakan The 13th Indonesia-Korea Energy Forum secara online, Selasa (8/11). Bertindak sebagai Ketua Delegasi RI adalah Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji, sedangkan Delegasi Republik Korea dipimpin oleh Deputy Minister for Energy Industry, Ministry of Trade, Industry and Energy Korea, Young-ghil Cheon.
Ketua Delegasi RI Tutuka Ariadji dalam sambutan pembukanya mengapresiasi Republik Korea yang tetap bersemangat menjaga komunikasi di tengah gejolak ekonomi dan geopolitik pasca Covid-19. Lebih lanjut Tutuka mengungkapkan, Indonesia sebagai Presidensi G20, menetapkan tema “Recover Together, Recover Stronger” dalam upaya mendorong pemulihan ekonomi dunia dengan tiga pilar yaitu Arsitektur Kesehatan Global, Transformasi Ekonomi Digital dan Transisi Energi Berkelanjutan. Pilar Transisi Energi Berkelanjutan membentuk Kelompok Kerja Transisi Energi (ETWG) dengan tiga prioritas yaitu aksesibilitas, teknologi dan pembiayaan.
“November ini, Indonesia akan menjadi tuan rumah G20 di Bali dan fokus kami adalah menghasilkan kerja sama yang konkrit, beasiswa, skema pembiayaan, transfer teknologi dan kolaborasi pengembangan kapasitas yang menguntungkan tidak hanya anggota G20, tetapi juga negara-negara lain dalam hubungan bilateral,” ujar Tutuka.
Menurut Tutuka, dunia saat ini sedang dalam proses menuju transisi energi di tengah ketidakpastian global. Sektor migas juga merupakan salah satu sektor yang menjalankan berbagai program strategis menuju transisi energi. Indonesia berharap Korea dapat menjadi mitra untuk saling berbagi pengalaman dalam menyukseskan transisi energi.
Lebih lanjut dia mengatakan, sektor energi Indonesia juga terdampak konflik Rusia-Ukraina. Situasi ini membutuhkan kerja yang luar biasa dan kerja sama yang lebih kuat antar negara, khususnya di bidang energi.
Tutuka mengatakan pihak Indonesia akan menyampaikan perkembangan proyek-proyek infrastruktur LNG, peluang bisnis hulu migas dan pengembangan SDM. Selain itu juga pentingnya teknologi Carbon Capture and Storage/Carbon Capture and Utilization Storage (CCS/CCUS) untuk membantu pencapaian Net Zero Emission (NZE) lebih cepat dan mendorong produksi minyak dan gas yang lebih bersih.
Berdasarkan beberapa kajian khususnya yang dilakukan oleh Pusat Pengujian Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS sebagai bagian dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Indonesia memiliki potensi penyimpanan sekitar 2 Gigaton CO2 yang tersebar di beberapa daerah seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Papua. Dan potensi aquifer saline sebesar 9,68 Giga ton CO2 dari cekungan Sumatera Selatan dan Jawa Barat.
Beberapa studi CCS/CCUS tengah dilakukan seperti di Gundih, Sukowati dan Tangguh dengan total potensi CO2 sekitar 41 juta ton CO2. Proyek CCS/CCUS potensial lainnya adalah CCS untuk memproduksi Blue Amonia di Sulawesi Tengah, Studi CCS/CCUS Kalimantan Timur, Studi CCUS untuk Batubara ke DME, Arun CCS/CCUS, CCS Sakakemang dan Abadi CCS/CCUS. “Semuanya masih dalam tahap studi atau persiapan, namun sebagian besar ditargetkan onstream sebelum 2030. Proyek-proyek CCUS ini diharapkan dapat mendukung pencapaian target emisi karbon di Indonesia,” tambah Tutuka.
Senada dengan Tutuka, Ketua Delegasi Republik Korea Young-ghil Cheon menyampaikan bahwa kerja sama di bidang migas, kelistrikan dan mineral antara Indonesia dan Korea telah terjalin sejak lama. IKEF diyakini dapat memperkuat kerja sama dan menciptakan peluang bisnis kedua negara.
Young-ghil Cheon mengatakan, krisis energi sebagai dampak konflik Rusia-Ukraina telah menyebabkan ketidakstabilan pasokan energi. Oleh karena itu, kestabilan energi menjadi hal yang sangat penting dan mendesak dalam kerja sama negara-negara di dunia.
Lebih lanjut dia memaparkan bahwa kerja sama Indonesia dan Korea harus sejalan dengan perubahan paradigma energi dunia. Untuk mewujudkan NZE, Korea secara khusus ingin meningkatkan proporsi pembangkit listrik tenaga nuklir yang bebas karbon dan pasokannya tidak tergantung pada negara lain pada tahun 2030. “Selain itu, kami juga akan membangun sumber daya baru seperti hidrogen, tenaga surya dan angin,” tambahnya.
Korea berkeinginan agar kerja sama kedua negara diperluas lagi, tidak hanya migas tetapi juga bidang energi bersih seperti pemanfaatan hidrogen dan pembangkit listrik tenaga air.
Dalam rangkaian acara ini, dilakukan penandatanganan MOU Comprehensive Cooperation in Energy Safety Management, sedangkan untuk sesi diskusi dibagi 3 sesi yaitu Cooperation on Energy resources & Supply chain, Cooperation on Green Energy & Net-zero dan Establishing foundation for mutual cooperation.
Menutup acara ini, Sesditjen Migas Setyorini Tri Hutami menyatakan kegembiraannya karena Indonesia dan Korea menunjukkan minat besar untuk meningkatkan kerja sama di bidang energi. Hal ini membuktikan bahwa ketidakpastian geopolitik di era pasca Covid-19 tidak menjadi penghalang untuk berkomunikasi dan menjajaki peluang kerja sama.
Setyorini juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh delegasi yang berpartisipasi dalam diskusi. “Dari tiga sesi diskusi ini, saya yakin kedua belah pihak menemukan lebih banyak peluang di mana Indonesia dan Korea dapat berkolaborasi dan menindaklanjuti tawaran kerja sama yang dibahas pada pertemuan ini,” kata Setyorini.
Diharapkan pertemuan selanjutnya dapat dilakukan secara tatap muka dan hasilnya dapat membawa kemajuan di sektor energi kedua negara. (TW)