PENGENDALIAN GRATIFIKASI: Wujud Penguatan Pengawasan ZI Menuju WBK WBBM

Banten – Untuk mewujudkan Zona Integritas (ZI) menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK)  dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM) maka penting untuk dilakukan penguatan dalam pengawasan pelaksanaannya. 

Internalisasi nilai-nilai Reformasi Birokrasi (RB) terus-menerus dilakukan oleh para pimpinan di lingkungan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas). Hal ini tampak dengan diselenggarakannya kegiatan sosialisasi RB dan Pembangunan Zona Integritas (ZI) menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK)  dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM) kepada segenap pegawai pada 9 s.d 10 September 2020 lalu.

Dalam kesempatan tersebut, Inspektorat V Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) yang diwakili oleh Auditor Pertama, Irawan Dwi Sasongko, menyampaikan terkait pentingnya melakukan pengawasan dan peningkatan kualitas publik, dalam konteks pembangunan ZI menuju WBK/WBBM.

Sebagaimana disampaikan Irawan bahwa pimpinan di lingkungan KESDM berkomitmen dalam mewujudkan Tata Kelola Yang Baik (Good Governance) dan Pemerintahan Yang Bersih (Clean Government). Salah satu bentuk komitmen tersebut adalah dengan dituangkan target 5 Unit Kerja berpredikat WBK, dan 1 unit kerja berpredikat WBBM pada Perjanjian Kinerja Inspektorat Jenderal KESDM TA 2020.

Adapun sasaran pembangunan ZI meliputi 6 (enam) area perubahan yakni Manajemen Perubahan, Penataan Tatalaksana, Penataan Sistem Manajemen SDM, Penguatan Pengawasan, Penguatan Akuntabilitas, dan Peningkatan Kualiatas Pelayanan Publik. Dari keenam area perubahan tersebut, maka Irwan menggaris bawahi terkait Penguatan Pengawasan salah satunya dengan Pengendalian Gratifikasi.

Gratifikasi dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Sesuai penjelasan Pasal 12B UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Irwan kembali menambahkan bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 12 B ayat (1) UU No 20/2001 bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Lebih jauh dijelaskan bahwa unsur-unsur Gratifikasi yang dianggap suap apabila: 1) Penerimaan Gratifikasi, 2) Subyek: Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara, 3) Berhubungan dengan Jabatan, 4) Berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, 5) Tidak melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) paling lambat 30 (tiga puluh hari kerja terhitung sejak gratifikasi tersebut diterima.

Namun demikian, apabila subjek telah melaporkan indikasi adanya gratifikasi kepada KPK paling lambat tiga puluh hari kerja sejak diterima gratifikasi tersebut, maka dapat menghapus ancaman tuntutan pidana.

Adapun ancaman pidana terkait bagi penerima Gratifikasi telah diatur secara jelas pada Pasal 12 huruf B ayat (2) UU No. 20/2001. Bagi penerima Gratifikasi maka sanksi berupa Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Sedangkan bagi setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Hal ini dengan tegas diatur dalam Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Lalu apa yang harus dilakukan Pejabat/Pegawai apabila menghadapi situasi yang terdapat indikasi gratifikasi. Situasi pertama, Gratifikasi dapat langsung ditolak apabila jelas dianggap suap dan diberikan secara langsung oleh Pejabat/Pegawai karena berhubungan dengan tugas dan jabatan.

Selanjutnya situasi kedua, apabila gratifikasi diterima tidak secara langsung, dan dalam keadaan tidak dapat menolak, atau ragu akan kualifikasi gratifikasi, maka subjek gratifikasi akan menghadapi 2 (dua) hal yaitu wajib lapor kepada Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) atau KPK atau tidak wajib lapor. Kondisi Gratifikasi tidak wajib dilaporkan apabila memenuhi beberapa unsur sebagaimana penjelasan bagan berikut:

Untuk Gratifikasi yang wajib dilaporkan dalam konteks lingkungan KESDM secara tegas juga telah diatur kriterianya dalam Peraturan Menteri ESDM No. 37 Tahun 2014 Tentang Pengendalian Gratifikasi Di Lingkungan Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, antara lain:

Dengan penguatan pengawasan khususnya Pengendalian Gratifikasi maka diharapkan pembangunan ZI menuju WBK WBBM akan semakin nyata.

Secara definisi, ZI merupakan predikat yang diberikan kepada instansi pemerintah yang pimpinan dan jajarannya mempunyai komitmen untuk mewujudkan WBK/WBBM melalui RB, khususnya dalam hal pencegahan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan publik. 

Sedangkan WBK/WBBM merupakan predikat yang diberikan kepada unit kerja pada instansi pemerintah yang memenuhi sebagian besar manajemen perubahan, penataan tata laksana, penataan sistem manajemen SDM, penguatan pengawasan, penguatan akuntabilitas kinerja dan penguatan kualitas pelayanan publik 

Proses pembangunan ZI dimulai dari pencanangan ZI yakni dengan Penandatanganan Pakta Integritas oleh seluruh atau sebagian besar pegawai dan juga pernyataan komitmen telah siap membangun ZI. Tahap selanjutnya adalah Pembangunan ZI dimana K/L menetapkan unit kerja yang akan diusulkan menuju WBK/WBBM dan membangun unit kerja menuju WBK/WBBM.

Unit yang telah diusulkan selanjutnya akan dievaluasi melalui Penilaian Mandiri oleh Tim Penilai Internal (TPI). TPI kemudian melaporkan kepada pimpinan instansi untuk selanjutnya diajukan pengusulan ke Kemenpan RB. Tahap berikutnya adalah reviu oleh Tim Penilai Nasional (TPN) yang terdiri atas Kemenpan RB, KPK dan juga Ombudsman RI. Apabila memenuhi kriteria dan penilaian maka Menpan RB akan mengusulkan kepada instansi untuk menetapkan unit kerja sebagai WBK, dan apabila memenuhi penilaian dan kriteria WBM, selanjutnya akan ditetapkan oleh Menpan RB. (RAW)

Kementerian ESDM
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
Gedung Ibnu Sutowo St. H.R Rasuna Said Kav. B-5, Jakarta 129100
Telp: 021-5268910. Fax: 021-5268979.
Media Sosial
Call Center
136
Copyright © 2024. Kementerian ESDM Ditjen Migas. All Rights Reserved.