Jakarta, Paris - Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) memainkan peran penting dalam mendukung target produksi migas nasional, pengembangan lapangan gas untuk mendorong transisi energi dan mempercepat pengurangan emisi untuk mencapai Net Zero Emission (NZE).
Saat ini transisi energi telah menjadi salah satu fokus utama dalam agenda perubahan iklim untuk mencapai NZE. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Indonesia telah menyusun Roadmap to Net Zero Emission pada tahun 2060, dimana minyak dan gas akan tetap krusial karena tujuan untuk mencapai NZE tidak hanya untuk kelestarian lingkungan, tetapi juga ketahanan energi dan transisi yang adil. Pemerintah Indonesia telah menetapkan target produksi migas nasional dan berencana untuk mengembangkan khususnya pengembangan lapangan gas yang sebagian memiliki kandungan CO 2 yang tinggi.
“Untuk mendukung transisi energi, gas bumi sebagai energi yang lebih bersih dari batu bara dan minyak, akan memenuhi kesenjangan antara kebutuhan energi dan pasokan energi baru dan terbarukan. Karena itu, ke mendukung target produksi migas nasional, pengembangan lapangan gas untuk mendorong transisi energi dan mempercepat pengurangan emisi untuk mencapai NZE, CCUS memainkan peran penting, “ ungkap Direktur Teknik dan Lingkungan Minyak dan Gas Bumi Mirza Mahendra pada acara virtual workshop yang digelar International Energy Agency (EIA) bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (24/07).
Pada acara bertajuk “Enabling CCUS Deployment in ASEAN tersebut lebih lanjut Mirza menjelaskan bahwa implementasi CCS/CCUS akan sangat bergantung pada kapasitas penyimpanan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi kapasitas penyimpanan di Indonesia. Berdasarkan kajian LEMIGAS, potensi penyimpanan di Indonesia sekitar 12 giga ton CO 2 di reservoar migas dan akuifer salin. Estimasi ExxonMobil adalah sekitar 80 giga ton, dan menurut Rystad Energy jauh lebih besar, lebih dari 400 giga ton CO 2 di Reservoir Minyak & Gas dan Saline Aquifers.
Untuk mengevaluasi potensi tersebut, Ditjen Migas telah membentuk Tim Gugus Tugas untuk melakukan studi dan menghitung kapasitas penyimpanan CO 2 untuk lapangan migas dan akuifer salin Indonesia. Potensi kapasitas penyimpanan yang besar akan memperkuat peran CCS/CCUS untuk mendukung penurunan emisi menuju Net Zero Emission, tidak hanya untuk minyak dan gas tetapi juga untuk industri lainnya.
Dijelaskan Mirza bahwa saat ini, Pemerintah Indonesia telah memiliki sekitar 15 proyek CCS/CCUS dari Aceh hingga Papua. Semuanya masih dalam tahap kajian atau persiapan, namun sebagian besar proyek tersebut ditargetkan on stream sebelum tahun 2030, dengan total potensi injeksi CO 2 antara tahun 2030 hingga 2035 sekitar 25,5 hingga 68,2 juta ton CO 2 .”
“Beberapa proyek tersebut, dikatakan Mirza telah masuk dalam ruang lingkup Peraturan Menteri ESDM No. 2 Tahun 2023. Namun proyek lainnya, khususnya untuk CCS Hub perlu diatur melalui regulasi yang lebih tinggi, “imbuh Mirza pada acara yang digelar secara virtual tersebut.
Namun demikian, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan CCS/CCUS di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Dimana peraturan ini telah ditunggu-tunggu oleh kontraktor hulu migas dan pemangku kepentingan lainnya.
Pada tahap awal, regulasi ini fokus untuk mendukung pengembangan CCS atau CCUS di wilayah kerja migas. Adapun ruang lingkup regulasi ini meliputi aspek teknis dan legal sebagai bagian dari model bisnis hulu migas Indonesia. Pemerintah Indonesia juga membuka peluang monetisasi CCS/CCUS berdasarkan regulasi yang berlaku. Adapun terkait sumber CO 2 , regulasi hanya menerima CO 2 dari hulu migas. Pemanfaatan CO 2 dari industri lain hanya diperbolehkan bagi CCUS dalam rangka peningkatan produksi migas.
Dari aspek hukum skema persetujuan untuk CCS/CCUS memiliki mekanisme yang pada prinsipnya mirip dengan kegiatan usaha Hulu Migas di Indonesia. Injeksi dan penyimpanan hanya dapat dilakukan oleh kontraktor Migas, dan mereka harus mengusulkan program CCS/CCUS sebagai bagian dari dokumen Plan of Development (POD) kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas dan BPMA Provinsi Aceh). Dokumen POD yang diusulkan harus menyertakan hasil studi kelayakan CCS/CCUS. Untuk POD Pertama atau perubahannya, Menteri akan menyetujui POD tersebut, dan untuk dokumen POD selanjutnya dapat diterima persetujuan dari SKK Migas atau BPMA.
Dikatakan Mirza bahwa masih terdapat banyak tantangan dalam aspek hukum dan regulasi untuk menerapkan CCS/CCUS, terutama proyek-proyek CCS di luar operasi hulu. Dalam peraturan ESDM misalnya, Pemerintah masih fokus pada CCS/CCUS di wilayah kerja migas karena beberapa batasan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Artinya, kegiatan injeksi CO2 hanya dapat dilakukan oleh Kontraktor Migas yang menggunakan Gross Split atau Kontrak Bagi Hasil dalam mekanisme bisnis hulu migas.
Untuk pengembangan CCS ke depan, KESDM bekerja sama dengan Kementerian terkait, dan saat ini sedang dalam tahap penyusunan Keputusan Presiden untuk CCS di luar wilayah kerja migas untuk mendukung pengurangan emisi dari industri lain. Dengan potensi penyimpanan CO 2 yang sangat besar di Indonesia, Pemerintah Indoensia akan membuka peluang CCS di luar wilayah kerja migas dengan CO 2 dari industri lain. Indonesia juga sedang mempertimbangkan penerapan CCS lintas batas untuk mendukung permintaan penyimpanan CO2 internasional.
Terakhir, Mirza juga menyampaikan peluang kerja sama regional yang lebih besar, dan salah satunya adalah CCS-hub. Dengan berbagai tantangan yang ada di Indonesia maupun negara ASEAN lainnya, kerjasama dengan semua pihak akan menjadi sangat penting.
“Pembangunan CCS/CCUS Hub di ASEAN akan menjadi peluang besar bagi negara-negara ASEAN dan lainnya untuk mengurangi emisi dari industri yang sulit mereda dan mencapai Net Zero Emission, “pungkas Mirza.
(RAW)