Perkuat Devisa Negara, ESDM Kendalikan Impor

Jakarta, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menegaskan bahwa pemerintah melakukan berbagai upaya untuk memperkuat nilai tukar rupiah dan devisa negara, salah satunya dengan mengendalikan barang impor di sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pengendalian impor tersebut bukan semata-mata pengurangan impor, tetapi juga penggunaan kandungan lokal atau TKDN. Sehingga, selain sebagai upaya mengendalikan devisa juga memberi peluang industri nasional untuk dapat berperan lebih di setiap proyek sektor energi nasional.

“Memang (pengendalian impor) untuk menghidupkan industri dalam negeri. Kalau memakai produk dalam negeri memang otomatis impor terpangkas. Kurangnya impor itu juga akibatnya saja, karena kita pakai produk dalam negeri,” katanya di Kantor Kementerian ESDM di Jakarta, Selasa (4/9) malam.

Jonan juga menjelaskan bahwa, pada prinsipnya, ESDM tidak akan menyetujui masterlist detil untuk rencana impor yang bisa digantikan produknya oleh produk yang sudah dihasilkan atau manufaktur di dalam negeri. Syaratnya asal memenuhi kualitas, spesifikasinya sama dan kualitasnya juga mencukupi.

Untuk sektor Energi, setidaknya terdapat tiga poin strategi yang ditekankan Jonan untuk memperkuat nilai tukar rupiah dan devisa negara, antara lain :

  1. implementasi perluasan mandatori B20;
  2. beberapa proyek strategis nasional bidang kelistrikan dan migas yang perlu dijadwalkan ulang untuk mengurangi impor yang dipandang belum perlu;
  3. serta memastikan devisa hasil ekspor bidang sumber daya alam, seperti minerba dan migas kembali ke negara.

 “Arahan Bapak Presiden kalau melihat konstitusi UUD 1945 dan semua Undang-Undang turunannya, semua sumber daya alam dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Secara ringkas, saya selalu mengatakan, kalau di Undang-Undang, baik Undang-Undang Minerba, Undang-Undang Migas, tidak ada tambang dalam bentuk apapun yang dimiliki oleh privat atau swasta, tidak ada, semua dimiliki oleh Negara. Oleh karena itu, arahan Bapak Presiden, kalau dilakukan ekspor, uangnya harus kembali," ungkap Jonan.

Jonan juga mengungkapkan bahwa Kementerian ESDM akan menetapkan peraturan terkait letters of credits (L/C) untuk ekspor. Hasil ekspor tersebut juga seluruhnya (100%) harus kembali ke negara, baik dalam bentuk Dollar Amerika maupun ditempatkan di bank-bank Pemerintah Indonesia di luar negeri. 

"Kami akan menerapkan peraturan ekspor akan pakai semua, harus pakai letter of credit (L/C) detailnya nanti diatur di BI (Bank Indonesia), Kemendag (Kementerian Perdagangan), Kemenkeu (Kementerian Keuangan). Kita akan buat mekanismenya, kita minta buktinya mana uang yang kembali, ekspor sekian 'kan kita bisa hitung pakai L/C, uangnya sudah kembali belum ke Indonesia. Jika uang hasil ekspor tersebut tidak kembali, perusahaan dapat dikenakan sanksi untuk mengurangi ekspornya," papar Jonan.

Sementara untuk sektor migas, ekspor selama ini tidak menggunakan L/C. Mekanisme devisa hasil ekspor sektor migas mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri yang sudah diberlakukan sejak akhir 2016.

“Migas sudah punya mekanisme sendiri. Mekanisme di hulu migas lebih advanced dari L/C, yakni kerja sama antara Bank Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta SKK Migas Nantinya, kontraktor menjual minyaknya ke luar negeri. Pembeli minyak itu akan transfer ke rekening bank, bisa bank asing di dalam negeri atau bank BUMN di negara lain. Ini akan diklarifikasi jumlah ekspornya. SKK Migas juga akan menyampaikan laporan pengiriman ekspor barang ke Bank Indonesia. Bank Indonesia kemudian memverifikasi dan mencocokkan data tersebut dengan bea cukai,” papar Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi.

Menurut peraturan tersebut, apabila devisa yang disetorkan lebih rendah kontraktor akan mendapatkan sanksi. Sanksi administrasi tersebut adalah 0,5% dari nilai nominal devisa hasil ekspor yang belum diterima dengan nominal paling banyak 100 juta rupiah. 

Sementara itu terkait penerapan B20 yang berlaku mulai tanggal 1 September 2018, Pemerintah akan melakukan pengawasan dengan sungguh-sungguh dan terus melakukan perbaikan dari waktu ke waktu.

"Penerapan B20 ini harapannya bisa menghemat devisa kira-kira sekitar 2,3 miliar USD untuk 4 bulan, September sampai Desember 2018. Kalau tahun depan (2019), secara total mungkin bisa menghemat lebih dari 3,3 miliar USD," terang Jonan.

Jonan menambahkan bahwa, ESDM juga sedang mengatur mekanisma agar produksi minyak mentah yang menjadi bagian kontraktor asing atau kontraktor Non Pertamina dapat ditawarkan juga ke Pertamina (untuk membeli). Sehingga, jangan sampai terjadi produksi kita dilelang di Singapura, sedangkan Pertamina yang juga membutuhkan impor minyak mentah harus membeli ke Singapura, ini kan lucu. Minyak hasil produksi di Indonesia dikirim ke luar negeri, minyak dari luar negeri kita impor kesini. (NOK)

Kementerian ESDM
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
Gedung Ibnu Sutowo St. H.R Rasuna Said Kav. B-5, Jakarta 129100
Telp: 021-5268910. Fax: 021-5268979.
Media Sosial
Call Center
136
Copyright © 2024. Kementerian ESDM Ditjen Migas. All Rights Reserved.