Pemerintah Susun Regulasi Khusus CBM

Jakarta, Produksi gas metana batubara (CBM) di Indonesia baru mencapai 0,5-0,6 MMSCFD. Untuk mendorong pengembangannya, Pemerintah tengah menyusun aturan baru khusus CBM. Aturan yang ada saat ini, dinilai kurang tepat karena merupakan turunan dari pengembangan migas konvensional yang persyaratannya cukup ketat.

Pelaksana Tugas Dirjen Migas IGN Wiratmaja usai Pengumuman Pemenang Lelang Migas Konvensional dan Non Konvensional, Rabu (18/3), mengatakan, Aturan yang berlaku untuk saat ini, kurang tepat diberlakukan untuk CBM lantaran pengeboran sumurnya tidak perlu sedalam gas konvensional. Selain itu, tekanannya juga lebih kecil. Alhasil, saat ini untuk mengebor sumur CBM, diperlukan biaya US$ 1,2-1,5 juta. Padahal di Australia, biaya yang dibutuhkan hanya sekitar US$ 600 ribu.

“Kita harapkan dengan regulasi baru, biaya untuk mengebor sumur CBM bisa turun ke US$ 600 ribu atau US$ 800 ribu. Targetnya pada tahun ini, aturannya sudah selesai,” tambah Wiratmaja.

Dengan adanya aturan khusus untuk CBM, diharapkan dalam 5 tahun ke depan, produksi CBM meningkat sesuai target. “Semoga dalam 5 tahun ke depan ini, target bisa terwujud. Karena CBM itu kan unik. Setelah ngebor, dikeringkan dulu yang waktunya bisa tahunan, sampai bisa menghasilkan (gas),” jelasnya.

Sementara aturan untuk pengembangan shale gas, lanjut Wiratmaja, ada rencana untuk dilakukan pengaturan tersendiri. Namun hingga saat ini, belum dilakukan pembahasan secara terperinci.

CBMadalah gas alam dengan dominan gas metana dan disertai sedikit hidrokarbon lainnya dan gas non-hidrokarbon dalam batubara hasil dari beberapa proses kimia dan fisika. CBMsama seperti gas alam konvensional, namun perbedaannya adalah CBM berasosiasi dengan batubara sebagai source rock dan reservoir-nya. Sedangkan gas alam yang kita kenal, walaupun sebagian ada yang bersumber dari batubara, diproduksikan dari reservoir pasir, gamping maupun rekahan batuan beku. Hal lain yang membedakan keduanya adalah cara penambangannya dimana reservoir CBM harus direkayasa terlebih dahulu sebelum gasnya dapat diproduksikan.

CBMdiproduksi dengan cara terlebih dahulu merekayasa batubara (sebagai reservoir) agar didapatkan cukup ruang sebagai jalan keluar gasnya. Proses rekayasa diawali dengan memproduksi air (dewatering) agar terjadi perubahan keseimbangan mekanika. Setelah tekanan turun, gas batubara akan keluar dari matriks batubaranya. Gas metana kemudian akan mengalir melalui rekahan batubara (cleat) dan akhirnya keluar menuju lobang sumur. Puncak produksi CBM bervariasi antara 2 sampai 7 tahun. Sedangkan periode penurunan produksi (decline) lebih lambat dari gas alam konvensional.

Hingga saat ini, telah ditandatangani 54 kontrak kerja sama CBM. Cadangan CBM Indonesia diperkirakan sebesar 453 TCF. CBM Indonesia berada di cekungan Sumatera Selatan (183 TCF), Barito (101,6 TCF), Kutei (89,4 TCF) dan Sumatera Tengah (52,5 TCF) untuk kategori high prospective. Cekungan Tarakan Utara (17,5 TCF), Berau (8,4 TCF), Ombilin (0,5 TCF), Pasir/Asam-Asam (3,0 TCF) dan Jatibarang (0,8) memiliki kategori medium. Sedangkan cekungan Sulawesi (2,0 TCF) dan Bengkulu (3,6 TCF) berkategori low prospective. (TW)

Kementerian ESDM
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
Gedung Ibnu Sutowo St. H.R Rasuna Said Kav. B-5, Jakarta 129100
Telp: 021-5268910. Fax: 021-5268979.
Media Sosial
Call Center
136
Copyright © 2024. Kementerian ESDM Ditjen Migas. All Rights Reserved.