Inovasi dan Dukungan Tata Kelola Subsektor Migas untuk Keberlanjutan Pemanfaatan SDA Migas: “Energy Accessibility”

Berita


Jakarta – Saat ini, dunia global sedang mengalami transisi energi dari sistem berbasis bahan bakar fosil padat karbon ke sistem berbasis energi rendah karbon, termasuk Indonesia.

Kecepatan perubahan dan efektivitas masing-masing negara untuk penerapan kebijakan keberlanjutan energi berbeda-beda di setiap negara. Dikutip dalam World Energy Council 2019 bahwa setidaknya diperlukan Arah Kebijakan Energi Global melalui tiga pilar utama yang dikenal sebagai The Energy Trilemma yakni Energy Security, Energy Equity, dan Environmental Sustainability.

“Kalau dulu kita hanya bicara bagaimana membangun infrastruktur yang sebesar-besarnya, kemudian menjualnya. Sekarang muncul Trilemma, dimana Trilemma ini harus dijaga keseimbangannya agar tidak tertuju pada salah satu pilar saja,” ungkap Direktur Perencanaan dan Pembangunan Laode Sulaeman, pada acara seminar Seminar ”Towards a Sustainable Future: Innovations in Mining, Oil & Gas,” Jumat (13/09).

Energy Security berbicara tentang bagaimana suatu negara menyiapkan pasokan energi yang aman untuk negaranya. Kemudian Energy Equity bagaimana suatu negara memiliki akses terhadap masyarakatnya untuk energy tersebut dengan harga yang terjangkau. Lebih lanjut Laode mengatakan ketika terlalu fokus berlebihan pada Energy Security dan Energy Equity ternyata berdampak kerusakan lingkungan sehingga muncul pilar yang ketiga yakni Environmental Sustainability. Dengan demikian setiap negara berusaha mengelola ketiga elemen ini secara seimbang untuk mendukung transisi energi global yang berkelanjutan.

Pada diskusi bersama awak media tersebut, Laode mengungkapkan bahwa upaya keberlanjutan energi itupun juga dilakukan Pemerintah Indonesia, melalui penerapan Kebijakan Energi Nasional Untuk Ketahanan Energi Melalui “4A” yakni Availability (Ketersediaan), Accessibility (Aksesibilitas), Affordability (Keterjangkauan), dan Acceptability (Akseptabilitas). Dimana Indonesia selalu memperhatikan aspek-aspek tersebut sebagai indeks ketahanan energi Nasional.

Laode menambahkan bahwa untuk memperkuat ketahanan energi Nasional tersebut, khususnya pada aspek aksesibilitas energi dan keterjangkauan, dilakukan pembangunan Infrastruktur energi di Indonesia. Dijelaskan Laode bahwa dalam Perencanaan Strategis dan Pembangunan Infrastruktur Gas Terintegrasi di Indonesia Pemerintah mengandalkan pengembangan atau pemanfaatan gas menjadi dua area.

“Untuk di Indonesia bagian barat khususnya di Jawa dan Sumatra Pemerintah akan menggunakan pipa transmisi, dimana Pemerintah saat ini sedang mengupayakan agar dari ujung pulau Aceh sampai ke Jawa Timur itu ada pipa besar transmisi gas yang nanti bisa masuk semua industri dan masyarakat di kedua pulau itu sementara di Indonesia bagian timur kita arahkan melalui moda LNG,” jelas Laode lebih lanjut.

Laode menjelaskan saat ini pipa yang belum tersambung hanyadua, yakni 1 segmen di Jawa dan 1 segmen di Sumatra.  Di Jawa terdapat pipa Cisem, dimana Cisem 1 sudah selesai dibangun sampai Batang dari Semarang. Kemudian untuk pipanisasi Cisem 2 saat ini sedang dibangun ke arah timur. Kemudian di wilayah Sumatera telah tersambung 500 km pipa dari Dumai-Sei Mangke.

“Kalau dua segmen ini sudah tersambung, maka pipa transmisi dari Aceh sampai ke Jawa Timur itu nyambung semua sehingga gas mau disuntikkan dari manapun nanti bisa dimanfaatkan oleh industri yang ada di wilayah Sumatera dan Jawa, “ ungkap Laode optimis.

Lebih lanjut, Laode mengatakan bahwa Indonesia bagian timur akan diarahkan menggunakan moda LNG mengingat di sana pulau-pulaunya cukup banyak dan pembangkit listriknya juga kecil. Dengan kondisi tersebut, tidak mungkin membangun rangkaian pipa-pipa yang rumit. Selain itu di Indonesia timur sedang diupayakan pembangkit-pembangkit yang menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM), ke depan akan digantikan dengan penggunaan gas sebagai upaya sustainability.

Upaya sustainability, juga disinggung Laode dalam kebijakan dan penerapan Carbon Capture Storage (CCS). Menurutnya, CCS ini perlu diatur ke depannya untuk dapat mengurangi emisi yang dihasilkan baik itu emisi lingkungan maupun emisi yang dihasilkan langsung oleh lapangan migas.

Mengakhiri paparannya, Laode menggarisbawahi peran minyak dan gas bumi akan tetap ada dalam bauran energi, terutama gas. Menurutnya gas akan menjadi bridging menuju Net Zero Emission 2060. Selain itu, dari sisi hulu, Pemerintah akan mengoptimalisasi sumur-sumur yang sudah idle serta mengoptimalkan eksplorasi hulu migas. Kemudian dari sisi infrastruktur energi juga akan terus dikembangkan termasuk dengan CCS/CCUS.

“Yang penting adalah gas, gas ini menjadi bridging sebelum kita menuju kepada Net Zero Emission 2060. Kalau di hulu kita mengoptimalisasi sumur-sumur yang sudah idle kemudian kita mentransformasi juga melalui EOR. Lalu kita juga tetap lakukan eksplorasi. Lalu pengembangan infrastruktur sudah tadi saya jelaskan dilengkapi dengan mengimplementasikan CCS/CCUS,” jelas Laode mengakhiri.

(RAW)

Kementerian ESDM
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
Gedung Ibnu Sutowo St. H.R Rasuna Said Kav. B-5, Jakarta 129100
Telp: 021-5268910. Fax: 021-5268979.
Media Sosial
Call Center
136
Copyright © 2024. Kementerian ESDM Ditjen Migas. All Rights Reserved.