Cegah Korupsi, ASN Harus Mampu Identifikasi Risiko Gratifikasi

Jakarta,  Korupsi merupakan masalah serius. Korupsi adalah perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri  atau orang lain yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Dalam pemberantasan korupsi, perlu dukungan kuat dari masyarakat. Di sisi lain, Aparatur Sipil Negara (ASN) harus mampu mengidentifikasi risiko gratifikasi yang mengarah pada korupsi.

Demikian benang merah paparan Ketua Satgas Program Pengendalian Gratifikasi, Kedeputian Pencegahan dan Monitoring KPK Mutiara Carina Rizky Artha  dalam Sosialisasi Anti Korupsi dengan tema "Migas Berintegritas dan Bersinergi, Bersama Lawan Korupsi" di Aula Ditjen Migas, Gedung Ibnu Sutowo, Jakarta, Rabu (21/6).

Terdapat tiga strategi dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu membangun nilai, perbaikan sistem dan efek jera. Pelaksanaan ketiga strategi ini memerlukan partisipasi aktif masyarakat. “Tidak mungkin KPK melakukan pengawasan 24 jam. Oleh karena itu partisipasi masyarakat sangat diperlukan,” kata Mutiara.

Korupsi dirumuskan dalam 30 jenis tipikor, dikelompokkan menjadi 7 jenis besar yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, benturan kepentingan dalam pengadaan, perbuatan curang, gratifikasi dan tindak pidana lain yang berhubungan dengan korupsi seperti merintangi pemeriksaan,  keterangan kekayaan, keterangan rekening, keterangan palsu dan identitas pelapor. 

Lebih lanjut Mutiara memaparkan, perkara Tindak Pidana Korupsi yang ditangani KPK  berdasarkan Jenis Perkara Tahun 2004 hingga Januari 2023 adalah 904 perkara merupakan gratifikasi/penyuapan, 277 perkara terkait pengadaan barang dan jasa, 57 kasus penyalahgunaan anggaran, 50 perkara TPPU, 27 terkait pemungutan atau pemerasan, 25 kasus perizinan dan 11 kasus merintangi tugas KPK.

“Sedangkan perkara Tindak Pidana Korupsi yang di tangani KPK  berdasarkan Profesi Jabatan dari Tahun 2004 hingga Januari 2023, sebanyak 310 orang merupakan pejabat eselon I hingga IV,” ungkapnya.

Mengenai gratifikasi, lanjut dia, sesuai Pasal 12B UU 20 Tahun 2021, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. ASN berkewajiban menolak segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Menurut Mutiara, gratifikasi tidak dapat serta merta dianggap negatif karena budaya masyarakat Indonesia paling senang memberikan hadiah, menjamu tamu dan memberikan oleh-oleh. Oleh karena itu, ASN harus harus dapat memahami gratifikasi yang boleh atau sebaliknya   yang wajib dilaporkan ke KPK.  “Gratifikasi tidak serta merta harus dihilangkan tapi dikendalikan. Kita perlu  tahu  batasan mana yang boleh dan yang tidak boleh, misalnya hadiah tersebut merupakan pemberian biasa atau ada tujuan tertentu,” tambahnya.  

Gratifikasi  dapat diberikan dalam bentuk uang,  barang pinjaman tanpa bunga,  pengobatan cuma-cuma, komisi rabat/diskon, fasilitas penginapan,  tiket perjalanan wisata dan fasilitas lainnya.

Sementara itu mengenai konflik kepentingan, Mutiara menjelaskan bahwa sesuai UU 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dinyatakan bahwa konflik kepentingan terjadi apabila dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dilatarbelakangi adanya kepentingan pribadi dan/atau bisnis,  hubungan dengan kerabat dan keluarga, hubungan dengan wakil pihak yang terlibat, hubungan dengan pihak yang bekerja dan mendapat gaji dari pihak yang terlibat, hubungan dengan pihak yang memberikan rekomendasi terhadap pihak yang terlibat dan hubungan dengan pihak-pihak lain yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bentuk-bentuk konflik kepentingan yaitu  menerima gratifikasi, penggunaan aset jabatan/instansi,  informasi rahasia,  perangkapan jabatan, akses khusus, pengawasan tidak mengikuti prosedur, serta  penilaian suatu obyek kualifikasi.

Dalam kesempatan tersebut Mutiara juga menekankan perlunya ASN  mengidentifikasi risiko gratifikasi yang mengarah pada korupsi. Pemetaan titik rawan gratifikasi terbagi dua yaitu:

  1. Identifikasi dan analisis risiko gratifikasi seperti mengenali kegiatan/aktivitas pada instansi yang berpotensi terjadi penerimaan gratifikas, memberikan penilaian tingkat kemungkinan terjadinya potensi tersebutdan memberikan penilaian terhadap dampak yang ditimbulkan apabila potensi tersebut benar-benar terjadi.
  2. Respon terhadap risiko gratifikasi yaitu kementerian/lembaga/organisasi/pemda merespon potensi risiko dengan membentuk lingkungan pengendalian, melalui regulasi, implementasi dan/atau pengawasan yang relevan dengan penyebab munculnya potensi risiko.  Apabila lingkungan pengendalian yang sudah diterapkan belum cukup mengatasi potensi risiko tersebut, maka perlu dilakukan/direncanakan perbaikan.

Gratifikasi yang tidak harus dilaporkan yaitu:

  1. Karena hubungan keluarga, sepanjang tidak memiliki konflik kepentingan.
  2. Penyelenggaraan pernikahan, kelahiran, aqiqah, baptis, khitanan, dan potong gigi, atau upacara adat/agama lain paling banyak dengan batasan nilai per pemberian Rp1 juta.
  3. Sesama rekan kerja paling banyak (tidak dalam bentuk uang) Rp200.000,00 dengan total pemberian Rp1.000.000,00 dalam 1  tahun dari pemberi yang sama.
  4. Sesama pegawai pada pisah sambut, pensiun, promosi dan ulang tahun (tidak berbentuk uang) paling banyak Rp300.000 dengan total pemberian Rp 1 juta dalam 1 tahun dari pemberi yang sama.
  5. Hidangan atau sajian yang berlaku umum.
  6. Keuntungan/bunga dari penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum.
  7. Hadiah tidak berbentuk uang atau alat tukar lainnya, sebagai alat promosi dan berlogo sepanjang tidak memiliki konflik kepentingan dan berlaku umum.
  8. Hadiah langsung/undian, diskon/rabat, voucher, point reward atau souvenir berlaku umum dan tidak terkait kedinasan.
  9. Manfaat bagi seluruh peserta koperasi atau organisasi pegawai berdasarkan keanggotaan yang berlaku umum.
  10. Seminar kit yang berbentuk seperangkat modul dan  alat tulis serta sertifikat yang diperoleh dari kegiatan resmi kedinasan, seperti rapat, seminar, workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis yang berlaku umum.
  11. Kompensasi terkait kedinasan seperti honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan sesuai standar biaya yang berlaku di instansi penerima, tidak ada pembiayaan ganda, tidak ada konflik kepentingan dan  tidak melanggar aturan yang berlaku di instansi penerima.
  12. Kompensasi atau honor profesi di luar kedinasan, yang tidak terkait dengan tupoksi dari pejabat/pegawai, tidak memiliki konflik kepentingan, dan tidak melanggar aturan internal instansi pegawai/kode etik.
  13. Penerimaan hadiah, beasiswa, atau tunjangan, baik berupa uang/barang yang ada kaitannya dengan peningkatan prestasi kerja yang diberikan oleh Pemerintah /pihak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  14. Prestasi akademis/non akademis yang diikuti dengan biaya sendiri, seperti kejuaraan, perlombaan/kompetisi tidak terkait kedinasan.
  15. Penerimaan terkait dengan musibah atau bencana sepanjang tidak ada konflik kepentingan dan memenuhi kewajaran atau kepatutan.
  16. Karangan bunga sebagai ucapan dalam 16 acara pernikahan, ulang tahun, acara agama/adat istiadat, pisah sambut, pensiun, promosi jabatan.
  17. Cenderamata/plakat kepada instansi, dalam rangka hubungan kedinasan dan kenegaran, baik di dalam negeri maupun luar negeri, sepanjang tidak diberikan kepada individu pegawai negeri atau penyelenggara negara. Bernilai wajar dan diberikan mewakili instansi. (TW)
Kementerian ESDM
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
Gedung Ibnu Sutowo St. H.R Rasuna Said Kav. B-5, Jakarta 129100
Telp: 021-5268910. Fax: 021-5268979.
Media Sosial
Call Center
136
Copyright © 2024. Kementerian ESDM Ditjen Migas. All Rights Reserved.