Jakarta – Kegiatan hulu minyak dan gas bumi Indonesia memasuki babak baru dalam penerapan kontrak kerja sama migas dengan ditetapkannya peraturan terkait Kontrak Bagi Hasil Gross Split model baru. Sejumlah kelebihan ditawarkan dalam kontrak Gross Split tersebut sebagai perbaikan atas model kontrak sebelumnya.
Komitmen Pemerintah c.q. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM dalam memperbaiki sistem kontrak hulu migas ditunjukkan dengan melakukan perbaikan kontrak bagi hasil gross split generasi pertama. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 13/2024 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split dan Keputusan Menteri ESDM Nomor 230.K/MG.01.MEM.M/2024 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Komponen Kontrak Bagi Hasil Gross Split, sebagai penyempurnaan dari model kontrak Gross Split sebelumnya.
Dalam sosialisasi peraturan terkait Gross Split yang digelar pada hari Selasa (01/10), Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas, Ariana Soemanto, S.T., M.T menyampaikan bahwa hasil evaluasi terhadap implementasi Kontrak Bagi Hasil Gross Split selama 5 tahun terakhir, menunjukkan hal-hal yang perlu diperbaiki, antara lain nilai bagi hasil yang tidak kompetitif dan sistem eksisting yang tidak implementatif, serta diperlukan fleksibilitas Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Dengan demikian menurutnya dibutuhkan simplifikasi agar Gross Split dapat diimplementasikan dengan lebih baik.
“Selama ini banyak dilakukan diskresi terhadap Kontrak Bagi Hasil Gross Split, dan masih banyak KKKS lainnya yang sedang dalam proses pengajuan additional split incentive. Ini menjadi bukti bahwa masih ada yang perlu diperbaiki,” jelas Ariana terkait urgensi perubahan Kontrak Bagi Hasil Gross Split tersebut.
Dihadapan sejumlah KKKS hulu migas yang hadir secara daring dan luring, Ariana menjelaskan 4 poin urgensi dan juga kelebihan dari Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang baru dibandingkan dengan sebelumnya. Pertama, memberi kepastian bagi kontraktor karena bagi hasilnya sekitar 75-95%. Dibandingkan dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split sebelumnya maka bagi hasil Kontraktor sangat variatif yakni bisa sangat rendah dan tidak kompetitif. Untuk bagi hasil pada Kontrak Gross Split yang baru tersebut, belum termasuk pajak, sehingga Pemerintah tetap mendapatkan bagi hasil yang proporsional dan tetap menjaga keseimbangan antara penerimaan negara dengan daya tarik investasi.
Kedua, membuat Wilayah Kerja Migas Non Konvensional (MNK) lebih menarik. Dijelaskan Ariana bahwa Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang baru memungkinkan bagi hasil untuk bagian Kontraktor sebesar 93-95%, yang dimaksud untuk membantu pengembangan wilayah kerja Migas Non Konvensional GMB Tanjung Enim, ataupun shale hydrocarbon wilayah kerja Rokan.
Ketiga, penyederhanaan parameter penentu besaran angka bagi hasil untuk Kontraktor menjadi 5 parameter saja, setelah sebelumnya terdapat 13 parameter pada Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang lama. Dijelaskan Ariana, hal ini dilakukan agar parameter tersebut dapat lebih mudah dihitung dan diukur sehingga lebih implementatif perhitungannya dan membuat lapangan migas lebih menarik.
“Dulu di kontrak Gross Split yang lama ada parameter yang tidak implementatif misalnya TKDN, kontrak pengadaan yang diverifikasi sangat banyak sehingga lama. Beberapa parameter lain seperti impurities juga tidak signifikan terhadap split, “ jelas Ariana lebih lanjut.
Selanjutnya, point keempat yakni terkait fleksibilitas bagi Kontraktor migas baru untuk menggunakan skema Gross Split ataupun Cost Recovery, dan juga dapat merubah dari kontrak bagi hasil skema Gross Split ke Cost Recovery dan sebaliknya. Namun hal ini tidak berlaku bagi KKKS dengan kontrak Gross Split lama, tidak dapat berubah ke kontrak Gross Split baru, kecuali yang belum mendapatkan persetujuan POD-1 dan merupakan blok migas non konvensional.
“Bukan semata-mata untuk mendorong Gross Split yang baru, tapi di sini kita berikan pilihan flexibility, mau pakai Gross Split silahkan mau pakai Cost Recovery Silahkan. Mau berpindah juga silahkan, sesuai Kontraktor,” jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga berharap bahwa adanya peraturan Peraturan Menteri ESDM No. 13/2024 dan Keputusan Menteri ESDM No. 230.K/MG.01.MEM.M/2024 dapat menjadi pedoman bersama. Ariana menyampaikan bahwa proses penyempurnaan peraturan terkait Kontrak Bagi Hasil Gross Split tersebut telah berlangsung sejak bulan Juni 2022 dan mencapai puncaknya pada Agustus 2024 telah melibatkan semua stakeholders terkait.. Rangkaian proses tersebut dmulai dari penyempurnaan kebijakan fiskal, pemetaan masalah dan evaluasi kontrak, FGD Oil and Gas Transformation Through Improvement of PSC, Workshop Perumusan Usulan Insentif Eksplorasi antara SKK Migas, Ditjen Migas, dan KKKS, engagement dengan Kementerian lain, hingga FGD bersama para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas.
“Jadi Permen dan Kepmen bukan punya Kementerian ESDM saja, tapi punya Bapak/Ibu. Karena semua prosesnya dirumuskan bersama dengan KKKS. Pembahasannya memang lumayan lama namun hasilnya benar-benar divalidasi dan menyuarakan aspirasi, dan tetap menjaga keseimbangan kepentingan Kontraktor dengan Negara, “ pungkas Ariana.
(RAW)