“Ini sebuah inisiatif yang strategis bagi Pertagas dan Pelni dalam rangka sinergi BUMN,†tegas Hendra Jaya, Dirut PT Pertagas di Jakarta (3/4).
Berdasarkan data Pelni, saat ini perusahaan tersebut masih menggunakan BBM subsidi. Secara keseluruhan kebutuhan BBM Pelni untuk armada kapal sebesar 219 Juta Kilo Liter (KL) dengan main bunkering di Jakarta, Surabaya dan Makasar serta supporting bunkering di Balikpapan, Bitung, Kupang , Ambon, Denpasar dan Semarang.
Kebutuhan BBM tersebut menyerap 65% biaya operasi Pelni dalam setahun. Bila penggunaan BBM tersebut bisa dikonversi dengan LNG, maka Pelni sebagai BUMN yang melayani kebutuhan masyarakat dalam transportasi laut antar pulau di Nusantara ini akan mengalami penghematan yang dapat dimanfaatkan untuk membeli kapal serta peningkatan sarana lainnya.
Untuk menekan biaya BBM. Pelni tertarik mengembangkan penerapan teknologi LNG sebagai bahan bakar secara single maupun dual fuel.
“Kerjasama ini akan menjadi pioneer dalam penggunaan LNG sebagai bahan bakar kapal di Indonesia. Kami harapkan hasil kajian akan memberikan sinyal positif, sehingga kedepannya tidak hanya Pelni yang menggunakan LNG, namun juga perusahaan angkutan laut lainnya,†ujar Syahril Japarin, Direktur Utama Pelni.
LNG merupakan gas
dalam bentuk cair merupakan energi yang
paling pas untuk mengkonversi BBM bagi transportasi laut. Selain mudah dalam
pengangkutan, LNG membutuhkan ruangan lebih kecil bila dibanding dengan CNG. Oleh
sebab itu, LNG sangat cocok untuk ruang kapal
yang terbatas.
Sebelumnya pada akhir 2013, pemerintah juga telah melakukan
uji coba pengguaan LNG untuk kendaraan berat seperti truk, di Bontang, Kalimantan
Timur. Proyek ini bertujuan mengkonversi sistem bahan bakar kendaraan berat
dari BBM Solar menjadi bahan bakar dual fuel yaitu LNG-Solar, dengan komposisi
60% LNG dan 40% Solar.
Pada teknologi ini, seluruh bahan bakar difumigasi. Gas bumi dicampur dengan
udara masuk sebelum proses kompresi. Rasio udara-bahan bakar diatur dengan
proses pencekikan untuk mengatur muatannya. Untuk mencegah terjadinya
"knocking", rasio kompresi dikurangi.
Kelebihan dari teknologi ini adalah ramah lingkungan dengan katalis yang
sederhana dan tidak bising. Selain itu juga lebih ekonomis dibandingkan
menggunakan Solar non subsidi.
Uji coba ini merupakan langkah awal menuju tahap komersial pada tahun 2014
sampai tahun 2022.
Dirjen Migas Kementerian ESDM A. Edy Hermantoro mengemukakan, penggunaan LNG
untuk truk-truk di perkebunan dan pertambangan sangat efektif mengurangi impor
BBM. Selain itu, juga memberikan keuntungan kepada pengusaha yang menggunakan
kendaraan berat karena harga LNG yang ekonomis. (TW)
(TW)