Ketua Majelis Hakim Konsitusi Jimly Ashiddiqie dalam
sidang pembacaan putusan di Gedung Mahkamah Konsitusi, Senin (17/12),
mengemukakan, lantaran permohonan tidak dapat diterima, maka pokok perkara yang
diajukan tidak dapat diproses lebih lanjut.
Majelis hakim berpendapat, pengertian perorangan warga
negara Indonesia (WNI) tidak sama dengan pengertian WNI dalam kedudukan sebagai
anggota DPR. Ke 8 anggota DPR yang mengajukan uji materiil sebagai perseorangan
warga negara Indonesia tersebut yaitu Zainal Arifin, Sonny Keraf, Alvin Lie,
Ismayatun, Hendarso Hadiparmono, Bambang Wuryanto, Drajat Wibowo dan Tjatur
Sapto Edy, dinilai tidak berhak mengajukan permohonan uji materiil.
Hakim juga menilai, jika benar ada kerugian hak
konstitusional mereka sebagai anggota DPR, maka hal itu merupakan kerugian DPR
sebagai lembaga negara bukan perseorangan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materiil UU
Migas tersebut diwarnai dissenting opinion (perbedaan pendapat) dua
hakim konstitusi yaitu H. Harjono dan Maruarar Siahaan.
Hakim Maruarar Siahaan berpendapat, dirinya dapat menerima
penjelasan pemerintah maupun kuasa hukum DPR bahwa kontrak kerja sama migas
bukan merupakan perjanjian internasional. Namun demikian, ia meyakini bahwa
para pemohon dapat diberikan legal standing mengajukan uji materiil
dengan penekanan pada pentingnya pengawasan DPR atas tindakan-tindakan
pemerintah yang dapat menimbulkan kerugian negara. Dengan sekedar laporan
tertulis dari pemerintah, Maruarar menilai terjadi pengingkaran keikutsertaan
rakyat sebagai pemilik kekayaan alam Indonesia.
Sidang pembacaan putusan ini dihadiri oleh wakil dari
pemohon, pemerintah dan DPR. Wakil dari pemerintah, antara lain Dirjen Migas
Departemen ESDM Luluk Sumiarso, Sesditjen Migas M. Teguh Pamudji, Kepala Biro
Hukum Departemen ESDM Sutisna Prawira serta Wakil Kepala BPMIGAS Abdul Muin.
Dirjen Migas Departemen ESDM Luluk Sumiarso seusai sidang
mengemukakan, dengan ditolaknya uji materiil atas UU Migas, maka tidak ada yang
berubah dalam sistem kontrak kerja sama migas.
Sebagaimana diketahui, 8 anggota DPR mengajukan uji
materiil terhadap UU Migas yaitu Pasal 11 ayat 2. Mereka menilai ayat tersebut
bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 11 ayat (2), 20A ayat 1 dan pasal 33 ayat 3
dan 4. Pasal 11 ayat 2 yang memuat ketentuan bahwa setiap kontrak kerja sama
yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada DPR,
dinilai telah membuat mereka kehilangan hak konstitusionalnya untuk memberikan
persetujuan atau menolak memberikan persetujuan atas perjanjian kontrak kerja
sama tersebut.
Sementara itu Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro sebagai
wakil pemerintah menilai, kontrak kerja sama merupakan kontrak perjanjian dalam
ranah hukum perdata. Meski kontrak itu dibuat dengan perusahaan internasional,
kontrak tersebut merupakan bentuk hubungan komersil pemerintah dengan
perusahaan asing sehingga pemerintah tidak memiliki kewajiban untuk meminta
persetujuan DPR dalam membuat kontrak kerja sama.
Sedangkan kuasa hukum DPR menilai, langkah 8 anggota DPR
tersebut untuk mengajukan uji materiil kurang tepat. Jika menganggap UU Migas
bertentangan dengan UUD 1945, maka sebaikanya mereka mengajukan perubahan lewat
legislative review.