Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Suyartono
menjelaskan, tumpahan minyak di kegiatan hilir migas yang hingga Oktober 2009
nihil, juga terjadi pada tahun 2002, 2003, 2005 dan 2006. Sedangkan pada tahun
2004, terjadi tumpahan minyak sebanyak 5.000 barel. Pada 2007 terjadi tumpahan
sebanyak 452 barel dan 2008 turun menjadi 8,14 barel.
Sementara untuk kegiatan hulu migas, tumpahan minyak masih
terjadi meski jumlahnya tidak banyak. Hingga Oktober 2009, tumpahan minyak
mencapai 480,52 barel atau meningkat dibanding 2008 yang mencapai 321,72 barel.
Pada 2007, terjadi tumpahan minyak sebanyak 604,62 barel. Tahun 2006, tumpahan
minyak mencapai 690,06 barel.
Pada 2005, tercatat terjadi 306,40 barel tumpahan minyak.
Tahun sebelumnya mencapai 9.350,87 barel. Sedangkan pada 2003, tumpahan minyak
mencapai 418,75 barel. Pada 2002 mencapai 2.918 barel.
Suyartono menjelaskan, industri migas rentan dengan
pencemaran lingkungan, termasuk juga tumpahan minyak. Penyebab tumpahan minyak
beragam, mulai dari kecelakaan kapal tanker, kegiatan pengeboran minyak lepas
pantai, docking dan scrapping.
Dalam banyak kasus, tumpahan minyak terutama disebabkan
karena kecelakaan tanker. Biasanya kecelakaan terjadi karena ada kebocoran
lambung, terutama pada kapal-kapal yang masih ‘single hull’. Tumpahan minyak juga disebabkan oleh kapal yang
kandas, terjadi ledakan atau kebakaran maupun tabrakan kapal.
“Tumpahan minyak di laut juga dapat disebabkan karena
dangkalnya perairan, sementara kapal dalam kondisi bermuatan penuh,†katanya.
Sementara contoh kecelakaan tumpahan minyak di hilir
migas, antara lain kebocoran di SPBU.