Pertemuan dipimpin Direktur Pembinaan Program Migas Heri
Poernomo dan dihadiri sejumlah instansi seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Perdagangan, BPMIGAS, KKKS, INSA, APMI dan GAPENRI.
Pada pertemuan tersebut Heri Poernomo memaparkan,
kebutuhan kapal-kapal untuk keperluan survei, drilling dan konstruksi di lepas pantai yang pada umumnya dilaksanakan
dalam waktu singkat. Namun belum banyak tersedia kapal bendera
“KKKS memerlukan kapal dengan kualitas tertentu. Jika di
Indonesia ada (tersedia) tidak ada masalah. Namun jika belum ada, harus
dilakukan tindakan atau solusi yang tidak melanggar asas cabotage. Perlu adanya win-win
solution, menyatukan pandangan agar bisa jalan bersama,†kata Heri.
Dalam kesempatan itu, KKKS Chevron dan KKKS ConocoPhillips
menyampaikan kebutuhan mendesak terhadap kapal-kapal seismik, drilling dan konstruksi untuk menjalankan
kegiatan produksi migas sesuai dengan komitmen kepada Pemerintah.
Ketidaksediaan kapal-kapal tersebut akan berakibat kepada tertundanya produksi
migas, yang mengakibatkan tidak tercapainya target produksi migas dan
menurunnya pendapatan negara sektor migas.
Menanggapi hal tersebut, Ditjen Hubla dan Ditjen IATT
menyampaikan bahwa asas cabotage
merupakan amanat yang tertuang dalam Inpres No. 5 tahun 2005 yang harus
dilaksanakan oleh semua pihak. Akan tetapi disadari, jangan sampai penerapan
asas cabotage mengakibatkan
terganggunya kepentingan yang lebih besar. Untuk itu, Ditjen Hubla dan Ditjen
IATT mengusulkan agar asas cabotage
di kegiatan usaha migas ini dibicarakan di level yang lebih tinggi.
Tim Fasilitasi Penerapan Asas Cabotage pada kegiatan usaha migas dibentuk dalam rangka
optimalisasi penerapan asas cabotage
untuk mendukung peningkatan produksi migas.
Tim yang bertugas melakukan koordinasi lintas sektoral ini
dibentuk menyusul diterbitkannya UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang
antara lain menyatakan bahwa kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh
perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia
serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Aturan ini dikeluhkan para stakeholder migas karena sebagian besar kapal yang digunakan untuk kegiatan hulu migas
belum tersedia berbendera