Wakil Menteri ESDM
Susilo Siswoutomo di Kementerian ESDM, Selasa (31/12), mengungkapkan,
berdasarkan hasil kunjungan salah satu staf ahli Menteri ESDM ke Papua,
diketahui ternyata harga Solar bersubsidi yang seharusnya hanya Rp 5.500 per
liter, di daerah tersebut mencapai Rp 25.000 per liter. Hal ini menunjukkan
adanya sistem yang tidak benar.
"Berarti sistem distribusi (di Papua) belum berjalan seperti yang
diamanatkan UU," ujar Susilo.
Sebagai badan usaha yang mendistribusikan BBM bersubsidi terbesar yaitu
sebanyak 47 juta KL, menurut Susilo, Pertamina memiliki tugas yang berat. Oleh
karena itu, perlu didukung oleh badan usaha lainnya untuk melaksanakan tugas
tersebut. Untuk tahun 2015, Susilo berharap badan usaha yang mendistribusikan
BBM bersubsidi tidak terbatas pada 3 perusahaan, tetapi harus lebih banyak.
"Masak cuma 3 (badan usaha). Kenapa nggak 10. Sehingga nanti di sana bisa
terjadi pembangunan-pembangunan fasilitas yang diperlukan, supaya rakyat di
daerah terpencil bisa menikmati BBM sesuai yang diharapkan. Jangan di sini Rp
5.500 dan di sana bisa Rp 25.000. Ini tidak adil," tegasnya.
Susilo menambahkan, apabila Pertamina mendistribusikan 70% BBM bersubsidi dan
sisanya dilaksanakan badan usaha lainnya, ia yakin harga BBM bersubsidi tidak
akan mencapai Rp 25.000 seperti yang terjadi sekarang ini.
Dalam kesempatan itu, Wamen juga menyoroti tentang cadangan strategis
BBM yang belum dimiliki Indonesia. Diakuinya, setiap badan usaha yang bertugas
mendistribusikan BBM, diwajibkan memiliki cadangan operasional sekitar 20-30
hari. Namun untuk cadangan strategis, Indonesia belum memilikinya.
"Dalam jangka panjang, (cadangan strategis) itu harus diterapkan
untuk meminimalisir ketergantungan pada negara lain," tambahnya.
Dicontohkan, Malaysia memiliki cadangan strategis untuk 25 hari. Amerika 30
hari. Padahal sebagai negara besar, sangat penting bagi Indonesia untuk
memilikinya dan hal ini merupakan tanggung jawab bersama. (TW)