“Kami akan meminta masukan dari stakeholder, bagaimana sebaiknya kita ‘memperlakukan’ CBM ini,â€Â
kata Dirjen Migas Departemen ESDM Evita H. Legowo, kemarin.
Evita mengemukakan, sifat CBM yang sedikit berbeda dengan
minyak dan gas, membuatnya harus diperlakukan berbeda dan fleksibel.
“Fleksibel seperti apa, itu yang akan kita bahas,â€Â
tambahnya.
Selama ini, pemerintah memberlakukan rejim migas terhadap
CBM. Namun dalam praktek di lapangan, ditemukan hal-hal yang berbeda dengan
minyak dan gas bumi. Antara lain seperti yang terjadi pada lapangan CBM yang
dikelola Medco di Sumatera Selatan. Gas sudah diproduksi ketika baru masuk
tahap pengurasan air.
“Memang untuk produksi komersialnya, CBM butuh waktu lebih
lama. Namun waktu pengurasan air, gasnya sudah keluar. Ini sudah terjadi di
Sumatera Selatan. Kalau menunggu rencana pengembangan (plan of development) di mana harus diperjelas dulu gasnya dijual ke
siapa, kan nggak bisa. Menurut saya kita harus down to earth dan kita tahu gas itu
tidak bisa dibuang begitu saja. Semua orang butuh,†tegasnya.
Sumber daya CBM mencapai 453,3 TCF yang tersebar pada 11
cekungan hydrocarbon. Dari sumber
daya tersebut, cadangan CBM sebesar 112,47 TCF merupakan cadangan terbukti dan
57,60 TCF merupakan cadangan potensial.
CBM adalah gas bumi yang terperangkap di dalam batu bara.
Pada awal kegiatan operasionalnya, dibutuhkan biaya yang cukup besar mengingat
karakteristik yang berbeda dengan gas alam konvensional. Melalui pengeboran
tertentu, CBM diekstrasi dari lapisan batu bara. Proses ini tidak akan
mengurangi deposit batu baranya karena yang diambil hanya CBM yang
terperangkap.