Sejak
ditandatangani pertama kali tahun 2008, hingga saat ini telah ditandatangani 32
WK CBM yang terutama berlokasi di Sumatera dan
- Rusia: 450-2.000 TCF
- China: 700-1.270 TCF
- Amerika Serikat: 500-1.500 TCF
- Australia/New Zealand: 500-1.000 TCF
- Kanada: 360-460 TCF
- Indonesia: 400-453 TCF
- Afrika bagian Selatan: 90-220 TCF
- Eropa bagian Barat: 200 TCF
- Ukraina: 170 TCF
- Turki: 50-110 TCF
- India: 70-90 TCF
- Kazakhstan: 40-60 TCF
- Amerika bagian Selatan/Meksiko: 50 TCF
- Polandia: 20-50 TCF.
Cadangan
CBM Indonesia terutama berlokasi di Sumatera Selatan sebesar 183 TCF, Barito
101,6 TCF, Kutai 80,4 TCF dan Sumatera Tengah 52,5 TCF.
CBM adalah gas alam dengan dominan gas metana dan disertai
sedikit hidrokarbon lainnya dan gas non-hidrokarbon dalam batu bara hasil dari
beberapa proses kimia dan fisika. CBM sama seperti gas alam conventional
yang kita kenal saat ini, namun perbedaannya adalah CBM berasosiasi dengan batubara sebagai source
rock dan reservoir-nya. Sedangkan gas alam yang kita kenal, walaupun
sebagian ada yang bersumber dari batu bara, diproduksikan dari reservoir
pasir, gamping maupun rekahan batuan beku. Hal lain yang membedakan keduanya
adalah cara penambangannya di mana reservoir CBM harus direkayasa
terlebih dahulu sebelum gasnya dapat diproduksikan.
CBM diproduksi dengan cara terlebih
dahulu merekayasa batubara (sebagai reservoir) agar didapatkan cukup
ruang sebagai jalan keluar gasnya. Proses rekayasa diawali dengan memproduksi
air (dewatering) agar terjadi perubahan kesetimbangan mekanika. Setelah
tekanan turun, gas batu bara akan keluar dari matriks batubaranya. Gas metana
kemudian akan mengalir melalui rekahan batu bara (cleat) dan akhirnya
keluar menuju lobang sumur. Puncak produksi CBM bervariasi antara 2 sampai 7 tahun.
Sedangkan periode penurunan produksi (decline) lebih lambat dari gas
alam conventional.