Direktur Pengolahan PT Pertamina Rukmi Hadihartini dalam
presentasi di Ditjen Migas, Jumat (9/1), menjelaskan, kelebihan pasokan minyak
tanah pada 2008 akibat program konversi dan krisis keuangan mencapai 23 MBCD
pada 2008 dan diperkirakan mencapai 89 MBCD pada akhir 2009.
“Kelebihan stok ini menyebabkan tank top. Karena
itu harus dicari jalan keluar pemanfaatan minyak tanah hasil kilang-kilang
Pertamina,’ katanya.
Solusi yang dilakukan pertamina atas kelebihan stok itu
adalah mengkonversi ke avtur dan solar. Untuk konversi ke avtur, lanjut Rukmi,
sudah mulai dilakukan dan dalam waktu dekat Pertamina tidak perlu mengimpor
lagi.
“Bahkan sebaliknya dapat mengekspor avtur. Ini sifatnya
berkelanjutan,†ujarnya.
Sementara untuk minyak tanah, menurut Rukmi, semula ada
pemikiran untuk ekspor. Namun ternyata hanya dihargai murah karena tidak banyak
negara di dunia yang masih menggunakan minyak tanah. Kerugian jika diekspor
diperkirakan mencapai US$ 40-60 juta per tahun.
Sedangkan jika minyak tanah dikonversi ke solar, dapat
menghemat devisa negara sebesar US$ 32-45 juta per tahun dari penurunan impor
solar.
“Untuk memaksimalkan blending minyak tanah ke solar,
diperlukan perubahan spesifikasi flash point dari 60° C menjadi 52° C,†jelas Rukmi.
Spesifikasi 52° C ini juga telah
dilakukan negara lain seperti Thailand dan Taiwan.
Sementara India
menggunakan spesifikasi 35° C. Sedangkan standar internasional WWFC adalah 55° C.
Dalam pertemuan yang dipimpin Direktur Pembinaan Usaha
Hilir Migas Saryono Hadiwijoyo dan dihadiri oleh Direktur Teknik dan Lingkungan
Migas Suyartono serta Kepala Pusat Lemigas Hadi Poernomo ini, disepakati bahwa
Lemigas akan segera melakukan kajian melalui uji sampel. Hasil uji tersebut akan
dibahas lagi dalam pertemuan selanjutnya.
Diusulkan pula agar sambil menunggu dilakukan kajian atas
perubahan tersebut, untuk menghindari tank top, maka Pertamina dapat
mengubah spesifikasi dari 60° C menjadi
55° C, sesuai standar internasional.