Penurunan Harga Minyak Hambat Pengembangan Migas Non Konvensional

Pelaksana Tugas Dirjen Migas Kementerian ESDM Naryanto Wagimin mengemukakan hal tersebut di Jakarta, pekan lalu.


Menurut Naryanto, jika penurunan harga minyak dunia berkelanjutan, maka bisa dipastikan hal ini menimbulkan masalah baru dalam pengembangan migas non konvensional. Investor diyakini akan berpikir ulang untuk menanamkan uangnya di bisnis ini. Padahal di sisi lain, pengembangan CBM di Indonesia saat ini pengembangannya melambat. Hanya sebagian saja dari WK KKS CBM yang masih dikembangkan oleh KKKS.


Agar pengembangan migas non konvensional bergairah lagi, Pemerintah siap memberikan insentif bagi KKKS yang serius ingin mengembangkan CBM dan shale gas. Antara lain dengan mengubah kontrak yang menurut investor tidak menarik. “Yang tahu persis (hambatannya) kan pelakunya. Kalau dia ingin ‘A”, ya kita ikutin,” kata Naryanto.


Kendala lainnya adalah perizinan. Terkait hal ini, Pemerintah telah berkomitmen akan mempermudah perizinan dan diharapkan dapat diringkas menjadi hanya satu pintu saja.

 

CBM adalah gas alam dengan dominan gas metana dan disertai sedikit hidrokarbon lainnya dan gas non-hidrokarbon dalam batubara hasil dari beberapa proses kimia dan fisika. CBM sama seperti gas alam konvensional, namun perbedaannya adalah CBM berasosiasi dengan batubara sebagai source rock dan reservoir-nya. Sedangkan gas alam yang kita kenal, walaupun sebagian ada yang bersumber dari batubara, diproduksikan dari reservoir pasir, gamping maupun rekahan batuan beku. Hal lain yang membedakan keduanya adalah cara penambangannya dimana reservoir CBM harus direkayasa terlebih dahulu sebelum gasnya dapat diproduksikan.

 

CBM diproduksi dengan cara terlebih dahulu merekayasa batubara (sebagai reservoir) agar didapatkan cukup ruang sebagai jalan keluar gasnya. Proses rekayasa diawali dengan memproduksi air (dewatering) agar terjadi perubahan keseimbangan mekanika. Setelah tekanan turun, gas batubara akan keluar dari matriks batubaranya. Gas metana kemudian akan mengalir melalui rekahan batubara (cleat) dan akhirnya keluar menuju lobang sumur. Puncak produksi CBM bervariasi antara 2 sampai 7 tahun. Sedangkan periode penurunan produksi (decline) lebih lambat dari gas alam konvensional.

 

Cadangan CBM Indonesia diperkirakan sebesar 453 TCF. CBM Indonesia berada di cekungan Sumatera Selatan (183 TCF), Barito (101,6 TCF), Kutei (89,4 TCF) dan Sumatera Tengah (52,5 TCF) untuk kategori high prospective. Cekungan Tarakan Utara (17,5 TCF), Berau (8,4 TCF), Ombilin (0,5 TCF), Pasir/Asam-Asam (3,0 TCF) dan Jatibarang (0,8) memiliki kategori medium. Sedangkan cekungan Sulawesi (2,0 TCF) dan Bengkulu (3,6 TCF) berkategori low prospective. (TW)

 

Kementerian ESDM
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
Gedung Ibnu Sutowo St. H.R Rasuna Said Kav. B-5, Jakarta 129100
Telp: 021-5268910. Fax: 021-5268979.
Media Sosial
Call Center
136
Copyright © 2024. Kementerian ESDM Ditjen Migas. All Rights Reserved.