Kepala Seksi Keselamatan
Pekerja dan Umum Hulu Migas Patuan Alfon menambahkan, Pemerintah perlu membuat
suatu kajian analisis resiko kegeologian agar para pengusaha CBM mengetahui
potensi dan bahaya geologi yang ada di wilayah kerja masing-masing, sehingga
penggunaan rig dan peralatannya dapat
disesuaikan.
Dalam rapat tersebut, diperoleh
sejumlah masukan, antara lain agar dalam penyusunan spesifikasi rig CBM ini, memperhatikan aspek
efisiensi tanpa mengabaikan aspek keselamatan. Selain itu, dalam penggunaan
peralatan pencegah semburan liar, aspek kegeologian daerah menjadi pertimbangan
penting untuk menjaga agar faktor keselamatan dapat lebih terjamin.
CBM adalah gas alam dengan dominan gas metana dan
disertai sedikit hidrokarbon lainnya dan gas non-hidrokarbon dalam batu bara
hasil dari beberapa proses kimia dan fisika.
CBM sama seperti gas alam conventional yang kita kenal saat ini,
namun perbedaannya adalah CBM berasosiasi dengan batubara sebagai source
rock dan reservoir-nya. Sedangkan gas alam yang kita kenal, walaupun
sebagian ada yang bersumber dari batubara, diproduksikan dari reservoir
pasir, gamping maupun rekahan batuan beku. Hal lain yang membedakan keduanya
adalah cara penambangannya di mana reservoir CBM harus direkayasa terlebih dahulu sebelum gasnya dapat
diproduksikan.
CBM diproduksi dengan cara terlebih dahulu merekayasa
batubara (sebagai reservoir) agar didapatkan cukup ruang sebagai jalan
keluar gasnya. Proses rekayasa diawali dengan memproduksi air (dewatering)
agar terjadi perubahan kesetimbangan mekanika. Setelah tekanan turun, gas batubara
akan keluar dari matriks batubaranya. Gas metana kemudian akan
mengalir melalui rekahan batubara (cleat) dan akhirnya keluar menuju
lobang sumur. Puncak produksi CBM bervariasi antara 2 sampai 7 tahun.
Sedangkan periode penurunan produksi (decline) lebih lambat dari gas
alam conventional.
Sejak ditandatangani pertama kali tahun 2008, hingga saat
ini telah dilakukan penandatanganan 50 WK CBM.
Mulai 2012 hingga 2025, Pemerintah menargetkan dapat dilakukan
penandatanganan 210 WK CBM atau 15
kontrak kerja sama (KKS) CBM tiap tahunnya.
Berdasarkan Roadmap Pengembangan CBM Indonesia,
produksi gas dari CBM ditargetkan
mencapai 500 MMSCFD, 1.000 MMSCFD pada tahun 2020 dan 1.500 MMSCFD pada tahun
2025.
Potensi gas CBM Indonesia sangat besar yaitu 453,3 TCF yang
tersebar pada 11 cekungan hydrocarbon. Dari sumber daya tersebut,
cadangan CBM sebesar 112,47 TCF
merupakan cadangan terbukti dan 57,60 TCF merupakan cadangan potensial.
CBM Indonesia berada di cekungan Sumatera Selatan (183
TCF), Barito (101,6 TCF), Kutei (89,4 TCF) dan Sumatera Tengah (52,5 TCF) untuk
kategori high prospective. Cekungan Tarakan Utara (17,5 TCF),
Berau (8,4 TCF), Ombilin (0,5 TCF), Pasir/Asam-Asam (3,0 TCF) dan Jatibarang
(0,8) memiliki kategori medium. Sedangkan cekungan Sulawesi (2,0 TCF)
dan Bengkulu (3,6 TCF) berkategori low prospective.