Pemerintah Susun Spesifikasi Rig CBM

“Pemerintah bertekad segera menyusun spesifikasi rig untuk kegiatan CBM agar sumur-sumur CBM dapat segera berproduksi dan menghasilkan gas,” kata Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Edi Purnomo dalam rapat penyusunan spesifikasi rig CBM, pekan lalu di Gedung Migas, Kuningan, Jakarta.

Kepala Seksi Keselamatan Pekerja dan Umum Hulu Migas Patuan Alfon menambahkan, Pemerintah perlu membuat suatu kajian analisis resiko kegeologian agar para pengusaha CBM mengetahui potensi dan bahaya geologi yang ada di wilayah kerja masing-masing, sehingga penggunaan rig dan peralatannya dapat disesuaikan.

Dalam rapat tersebut, diperoleh sejumlah masukan, antara lain agar dalam penyusunan spesifikasi rig CBM ini, memperhatikan aspek efisiensi tanpa mengabaikan aspek keselamatan. Selain itu, dalam penggunaan peralatan pencegah semburan liar, aspek kegeologian daerah menjadi pertimbangan penting untuk menjaga agar faktor keselamatan dapat lebih terjamin.

CBM adalah gas alam dengan dominan gas metana dan disertai sedikit hidrokarbon lainnya dan gas non-hidrokarbon dalam batu bara hasil dari beberapa proses kimia dan fisika.  CBM sama seperti gas alam conventional yang kita kenal saat ini, namun perbedaannya adalah CBM berasosiasi dengan batubara sebagai source rock dan reservoir-nya. Sedangkan gas alam yang kita kenal, walaupun sebagian ada yang bersumber dari batubara, diproduksikan dari reservoir pasir, gamping maupun rekahan batuan beku. Hal lain yang membedakan keduanya adalah cara penambangannya di mana reservoir CBM harus direkayasa terlebih dahulu sebelum gasnya dapat diproduksikan.

CBM diproduksi dengan cara terlebih dahulu merekayasa batubara (sebagai reservoir) agar didapatkan cukup ruang sebagai jalan keluar gasnya. Proses rekayasa diawali dengan memproduksi air (dewatering) agar terjadi perubahan kesetimbangan mekanika. Setelah tekanan turun, gas batubara akan keluar dari matriks batubaranya. Gas metana kemudian akan mengalir melalui rekahan batubara (cleat) dan akhirnya keluar menuju lobang sumur. Puncak produksi CBM bervariasi antara 2 sampai 7 tahun. Sedangkan periode penurunan produksi (decline) lebih lambat dari gas alam conventional.

Sejak ditandatangani pertama kali tahun 2008, hingga saat ini telah dilakukan penandatanganan 50 WK CBM.  Mulai 2012 hingga 2025, Pemerintah menargetkan dapat dilakukan penandatanganan 210 WK CBM  atau 15 kontrak kerja sama (KKS) CBM tiap tahunnya.

Berdasarkan Roadmap Pengembangan CBM Indonesia, produksi gas dari CBM  ditargetkan mencapai 500 MMSCFD, 1.000 MMSCFD pada tahun 2020 dan 1.500 MMSCFD pada tahun 2025.

Potensi gas CBM  Indonesia sangat besar yaitu 453,3 TCF yang tersebar pada 11 cekungan hydrocarbon. Dari sumber daya tersebut, cadangan CBM  sebesar 112,47 TCF merupakan cadangan terbukti dan 57,60 TCF merupakan cadangan potensial.

CBM Indonesia berada di cekungan Sumatera Selatan (183 TCF), Barito (101,6 TCF), Kutei (89,4 TCF) dan Sumatera Tengah (52,5 TCF) untuk kategori high prospective. Cekungan Tarakan Utara (17,5 TCF), Berau (8,4 TCF), Ombilin (0,5 TCF), Pasir/Asam-Asam (3,0 TCF) dan Jatibarang (0,8) memiliki kategori medium. Sedangkan cekungan Sulawesi (2,0 TCF) dan Bengkulu (3,6 TCF) berkategori low prospective.

 

Kementerian ESDM
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
Gedung Ibnu Sutowo St. H.R Rasuna Said Kav. B-5, Jakarta 129100
Telp: 021-5268910. Fax: 021-5268979.
Media Sosial
Call Center
136
Copyright © 2024. Kementerian ESDM Ditjen Migas. All Rights Reserved.