Kepala BPH Migas Tubagus Haryono dalam rapat Dengar Pendapat
dengan Komisi VII DPR, Kemarin, menjelaskan, dari 166 kasus tersebut, sebanyak
130 kasus masih dalam tahap penyidikan, 27 kasus telah dinyatakan lengkap atau P-21
dan 9 kasus telah memasuki tahap persidangan.
Dari hasil pengawasan di lapangan, PPNS Migas menemukan
adanya BBM bersubsidi untuk nelayan yang sudah habis kuotanya pada tanggal 1-20
per bulannya. Namun BBM PSO masih tersedia dari tanggal 21-30 per bulan dengan
harga yang bervariasi antara Rp 3.800-7.400 per liter, membeli dari black market.
Wilayah lainnya, di Karawang dan sekitarnya, PPNS menangkap tangan sebuah mobil carry yang membawa solar
subsidi dengan jerigen (33 jerigen @30 liter) ke SPBU Pertamina kemudian dijual
ke industri dengan harga Rp. 6.500.
Untuk wilayah Balikpapan ditemukan adanya indikasi pembelian BBM PSO dengan
model pengeritan yaitu menggunakan sepeda motor dan atau menggunakan mobil ke
SPBU kemudian dibawa dengan alasan ke pedalaman atau daerah terpencil. Indikasi
pengeritan dijual ke industri pertambangan atau perkebunan.
Sanksi terhadap SPBU
Tak hanya BPH Migas, PT Pertamina (Persero) juga telah
melakukan penindakan terhadap 42 SPBU yang melakukan pelanggaran distribusi. Di
Provinsi NAD, telah ditindak 3 SPBU dengan jenis pelanggaran, lalai dalam
menjaga mutu BBM, melayani penjualan melalui drum/jerigen tanpa adanya
verifikasi instansi terkait dengan sanksi penghentian pasokan BBM selama 7-14 hari.
Di Sumatera Utara, ditindak sebanyak 14 SPBU dengan jenis pelanggaran yaitu
melayani penjualan melalui drum/jerigen tanpa adanya verifikasi instansi
terkait dengan sanksi penghentian pasokan BBM selama 14 - 30 hari.
Untuk DKI Jakarta, telah ditindak sebanyak 4 SPBU yang melakukan pelanggran
dengan melayani penjualan melalui drum/jerigen tanpa adanya verifikasi instansi
terkait yang selanjutnya keempat SPBU tersebut juga diberikan sanksi
penghentian pasokan BBM selama 7 - 30 hari.