Split yang diberikan kepada pengelola wilayah kerja CBM ini, menurut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro seusai pelantikan pejabat eselon I dan II di lingkungan Departemen ESDM, Rabu (18/7), akan lebih besar dibandingkan bagi hasil minyak dan gas bumi. Besarnya split belum tentu sama, tergantung kasus dan daerahnya.
Mahalnya biaya pengembangan CBM, papar Purnomo, karena pada awal kegiatan operasi CBM, produksi airnya lebih banyak dibanding pada kegiatan operasi gas bumi.
“Jadi harus dikuras dulu airnya, baru bisa memperoleh CBM,” kata Purnomo.
Sampai saat ini, sejumlah daerah telah mengajukan joint study dan joint evaluation untuk mengembangkan CBM, antara lain PT PGN-Santos, PT Pertamina EP, PT BA, Vico dan Trans Asia Resources. Namun baru Konsorsium Medco-Ephindo yang telah mendapat persetujuan pemerintah. Penandatanganan kontrak kerja sama CBM rencananya akan dilakukan Agustus mendatang.
Potensi CBM di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 453,3 TCF dan sebagian besar berada di wilayah Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Barito dan Kutei. Selebihnya tersebar, antara lain di Kalimantan Timur. (Copyrigt by Ditjen Migas)