PMK yang yang sedang dipersiapkan tersebut, kata Sri
Mulyani di Auditorium ESDM, Jumat (28/12), terdiri dari PMK induk yang bersifat
mengatur keseluruhan prosedur dan mekanisme pembebasan bea masuk dan beberapa
PMK mengenai klasifikasi industri, termasuk PMK untuk hulu migas dan panas
bumi.
Sementara mengenai PDRI, jelas Sri Mulyani, pemerintah
sulit membebaskan karena pihaknya tetap berkeyakinan bahwa sesuai dengan UU No.
22 tahun 2001 tentang Migas, KKKS harus membayar pajak.
“Kalau kewajiban itu dihilangkan, maka saya harus bisa
memberikan justifikasi dengan UU yang sama kuatnya,†katanya.
Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk menanggungnya
dengan menggunakan dana yang sudah dicadangkan untuk berbagai kemungkinan
pemerintah memberikan fasilitas pajak yang tidak dibayarkan atau ditanggung
pemerintah. Dana yang dicadangkan tersebut mencapai Rp 3 triliun. Jika nantinya
tidak mencukupi, maka dapat diajukan melalui APBN-P.
Pada kesempatan itu, Sri Mulyani juga mengakui adanya
disharmonis kebijakan tarif yang menimbulkan kekisruhan dalam pelaksanaannya
beberapa waktu ini. Banyak pihak yang mempertanyakan, mengapa jika mengimpor
barang dari negara-negara anggota Asean, Korea, Cina dan Jepang, bea masuknya
nol. Sementara di luar negara-negara itu seperti Brazil dan AS, dikenakan pajak
15%. Untuk mengatasinya, maka pemerintah membebaskan bea masuk dari semua
negara untuk kegiatan hulu migas dan panas bumi.
Keputusan pemerintah untuk
membebaskan bea masuk barang impor kegiatan hulu migas dan panas bumi serta
menanggung PDRI, juga didasarkan pada kenyataan bahwa sektor ESDM merupakan
sektor strategis yang bisa menopang tujuan pembangunan dan pengembangan
penanaman modal.