Hal tersebut diungkapkan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro dalam jumpa pers pada Diskusi Penyamaan Persepsi Dalam Rangka Percepatan Tindak Lanjut Temuan Hasil Audit BPKP Atas KKKS, Selasa (23/1), di kantor BPKP.
Dijelaskan Purnomo, secara alamiah kegiatan migas yang dilakukan di lapangan-lapangan tua membutuhkan biaya yang jauh lebih besar ketimbangan lapangan baru. Padahal saat ini, sebagian besar (80%) lapangan migas
Selain itu, cost recovery juga melonjak akibat peningkatan kegiatan eksplorasi migas yang dilakukan investor. Setelah krisis moneter berakhir dan ditetapkannya UU No 22 tahun 2001 tentang Migas, investasi migas Indonesia terus menunjukkan peningkatan.
"Kegiatan migas yang meningkat ini menyebabkan cost recovery yang harus dibayarkan naik. Namun harus dipahami, hasil dari kegiatan ini baru dirasakan paling cepat 3 tahun setelah sumber migas ditemukan atau 10 tahun kalau perusahaan itu baru mulai mencari", kata Menteri ESDM.
Penyebab lainnya adalah meningkatnya biaya sewa peralatan yang melonjak hingga 300% dan harga besi baja di dunia naik 50% akibat pertumbuhan ekonomi China dan India yang tinggi.
Cost recovery diatur dalam kontrak jenis production sharing (PSC) yang ditandatangani BP Migas dan KKKS yang bersifat operasional. Sesuai dengan aturan main, perusahaan dapat membebankan semua biaya dalam rangka memperoleh minyak mentah ke dalam kelompok besar biaya yang dikenal sebagai cost recovery. Biaya ini bisa dibebankan bila perusahaan tersebut berhasil menemukan sumber migas.
Cost recovery ini menjadi pengurang dari nilai lifting (hasil penjualan). Selisih lebih dari nilai lifting dikurangi cost recovery menjadi suatu jumlah yang akan dibagi antara pemerintah dengan kontraktor (equity to be split) dengan persentase pembagian untuk pemerintah 85% dan kontraktor 15%. Semakin besar cost recovery, semakin kecil bagian yang diterima pemerintah.
Dalam diskusi tersebut, BPKP menyampaikan temuan hasil audit dari tahun 2002-2005 berjumlah Rp 18,067 trilyun dan telah ditindaklanjuti sampai Desember 2006 Rp 8,695 rilyun atau sekitar 48,22%. Sedangkan sisa temuan yang belum ditindaklanjuti sebesar Rp 9,372 trilyun.
Menurut Kepala BPKP Didi Wirayadi, hal ini bisa terjadi karena kegiatan operasional tidak sesuai prosedur dan tidak efisien.