Menurut Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Suyartono
dalam bukunya “Keselamatan Lingkungan Migasâ€Â, kebijakan pengurangan gas flare sebesar 30-60% per tahun
tersebut merupakan upaya untuk mencapai zero
flare pada tahun 2012 sesuai dengan Protokol Kyoto tahun 1997 dan telah diratifikasi
oleh Indonesia melalui UU No 17 Tahun 2004.
Terkait dengan program zero
flare ini, lanjut Suyartono, Ditjen Migas bekerja sama dengan World Bank telah melakukan inventarisasi jumlah gas suar
bakar (gas flare) dan CO2 venting
(individual-clusters dan kemungkinan
pemanfaatannya) yang dihasilkan oleh badan usaha di kegiatan usaha migas.
“Studi itu bertujuan untuk mengidentifikasi potensi
kegiatan penurunan flaring dan CO2 venting serta meningkatkan kapasitas
nasional dengan perbaikan sistem pengumpulan dan pelaporan data terkait dengan
operasi hulu gas alam di Indonesia,†paparnya.
Salah satu implementasi kebijakan untuk mencapai tujuan
tersebut adalah meminimalisasi pembuangan limbah pemboran ke lingkungan dengan
cara melakukan reinjeksi ke sumur pemboran. Ini sudah mulai dilakukan di
beberapa proyek migas, termasuk LNG Tangguh.
Sistem flare
merupakan instalasi yang harus ada di setiap industri migas. Prosesnya
melibatkan gas yang berbahaya dan juga gas yang mudah terbakar sehingga dapat memicu
kecelakaan. Sistem flare merupakan
sistem pengaman dari gas yang keluar dari sistem proses dengan cara membakar
gas yang keluar tersebut sebelum memasuki atmosfer.
Namun belakangan, pembakaran pada sistem flare ternyata menjadi salah satu
penyebab pemanasan global sehingga pembakaran ini harus dikurangi.
Pada tahun 2008, volume gas flare
Gas flare juga dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan energi. Kepala BPMIGAS R. Priyono beberapa waktu lalu
mengemukakan, sepanjang semester 1 tahun 2009 BPMIGAS berhasil memfasilitasi
penandatanganan jual beli gas suar bakar di beberapa tempat. Antara lain
Lapangan Mudi, Sukowati dengan total volume 35,7 BSCF dengan nilai total
penjualan sebesar US$ 71,4 juta selama 6 tahun.
Selain itu, ditandatangani penjualan gas suar bakar dari
Lapangan Matoa di Papua sebesar 17,5 BSCF dengan nilai total penjualan US$ 25,9
juta selama 10 tahun.