Dirjen Migas Departemen ESDM Luluk Sumiarso mengemukakan
hal itu kepada pers di Gedung Migas, Kuningan, Jakarta, Jumat (4/1).
Infrastruktur pengembangan lapangan CBM juga cukup memadai
karena lokasinya berada di sekitar lapangan migas dan lapangan batu bara.
Minat investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri
cukup besar. Bahkan beberapa diantaranya sudah mengajukan permohonan, ujar
Luluk.
Sampai saat ini, proposal yang diajukan kepada pemerintah
untuk mengelola CBM berjumlah 50, dengan perincian: 10 proposal di wilayah
terbuka, 9 proposal di wilayah kerja migas, 30 proposal di wilayah KP/PKP2B dan
1 proposal di wilayah tumpang tindih antara wilayah kerja migas dan KP/PKP2B.
Sesuai dengan Kepmen No. 1669 Tahun 1998 Pasal 2 dan
Permen No. 033 Tahun 2006 Pasal 3 ayat 1, pengembangan CBM dilakukan seperti
pengelolaan migas atau tunduk pada rezim migas.
Penawaran wilayah kerja CBM dilakukan dengan dua cara
yaitu penawaran langsung (direct offer) dan lelang (tender). Penawaran
langsung dapat dilakukan di wilayah terbuka dan wilayah kerja available
melalui studi bersama dan di wilayah kerja existing yaitu wilayah kerja
migas, wilayah pertambangan atau wilayah tumpang tindih, melalui evaluasi
bersama (joint evaluation). Atau dapat juga disiapkan oleh Ditjen Migas
bersama-sama dengan kontraktor pelaksana joint study/joint evaluation.
Sedangkan penawaran melalui lelang atau tender,
dilaksanakan di wilayah terbuka dan wilayah kerja existing apabila
kontraktor yang bersangkutan tidak berminat atau disiapkan oleh Ditjen Migas.
CBM dapat digunakan sebagai energi pengganti minyak bumi
yang produksinya semakin menurun. Potensi CBM di Indonesia cukup besar, yaitu
sekitar 453 TCF yang tersebar di berbagai wilayah, terutama Sumatera bagian
Selatan dan Kalimantan Timur. Perinciannya: Sumatera Utara sebesar 52,50 TCF,
Ombilin 0,50 TCF, Sumatera Selatan 183 TCF, Bengkulu 3,60 TCF, Jatibarang 0,80
TCF, Kutei 80,40 TCF, Barito 101,60 TCF, Pasir dan Asem-Asem 3 TCF, Tarakan
Utara 17,50 TCF, Berau 8,40 TCF dan Sulawesi 2 TCF.