Jakarta, Pemerintah berkomitmen untuk memperkuat ketahanan energi nasional dan meningkatkan produksi minyak dan gas bumi (migas) guna memenuhi gap antara produksi dan permintaan domestik yang terus meningkat. Sumber daya migas non-konvensional (MNK) menjadi salah satu strategi penting untuk mendorong peningkatan produksi migas nasional.
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Ariana Soemanto saat menjadi pembicara secara daring pada Webinar: Opportunities in Unconventional Oil and Gas Development in Indonesia, Rabu (23/7), menyampaikan bahwa Indonesia memiliki sejarah panjang dalam pengembangan migas konvensional.
“Dengan lebih dari 30.000 sumur, lebih dari 160 wilayah kerja, dan volume penemuan yang substansial, cadangan konvensional kami telah berkontribusi signifikan terhadap ketahanan energi dan pendapatan nasional. Basis produksi dan data geologi yang ada juga menjadi indikator kuat bahwa Indonesia memiliki sumber daya migas non-konvensional yang layak, terutama di cekungan-cekungan yang sudah matang seperti Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, dan Cekungan Kutai, “ papar Ariana.
Sebagai upaya untuk mempercepat pengembangan migas konvensional di Indonesia, Pemerintah telah mengidentifikasi beberapa aspek penting yang membentuk fondasi ekosistem MNK yang kuat dan suportif. Aspek pertama yaitu terkait regulasi dan kebijakan fiskal, dalam hal ini, Pemerintah berfokus pada dua area utama yaitu penyederhanaan regulasi dan opsi fiskal yang fleksibel.
Dari sisi regulasi, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 35 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi. Regulasi ini memungkinkan pemegang Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ada untuk melakukan kajian potensi MNK di wilayah kontraknya saat ini, tanpa perlu membangun wilayah kerja baru. Hal ini merupakan terobosan signifikan, karena membantu mengurangi waktu, beban administratif dan biaya.
“Setelah kajian menunjukkan potensi, kontraktor dapat mengajukan proposal untuk merevisi kontrak, terutama ketentuan fiskal, agar sesuai dengan karakteristik proyek MNK. Hingga saat ini, 24 wilayah telah menjalani kajian potensi MNK dan 3 di antaranya telah mencapai tahap pasca-pengeboran di Sumatera . Wilayah-wilayah ini mencakup zona-zona dengan indikasi tight gas, shale oil dan shale gas, meskipun untuk pengembangan skala penuh belum terealisasi,” jelas Ariana.
Di sisi fiskal, Pemerintah menyediakan dua opsi skema kontrak dengan beberapa fleksibilitas. Untuk skema Cost Recovery, kontraktor menerima bagi hasil produksi 50:50 (setelah pajak), dengan cost recovery 100%. Sementara untuk skema Gross Split, kontraktor dapat menerima hingga 95% dari bagi hasil produksi sebelum pajak. Skema ini memungkinkan proses pengadaan yang lebih cepat dan pelaksanaan proyek yang lebih cepat.
“Reformasi kebijakan ini dirancang untuk menyeimbangkan daya tarik investasi dan pengawasan Pemerintah, sekaligus memberikan kelincahan yang dibutuhkan kontraktor untuk mengelola risiko dan kompleksitas pengembangan migas non-konvensional yang lebih tinggi,” pungkas Ariana.
Poin yang ingin saya tekankan adalah untuk memastikan semua orang memahami bahwa keberhasilan pengembangan MNK bergantung pada dua fondasi, penyelesaian pengeboran yang cepat dan perekahan hidrolik vertikal atau horizontal. Dan semua komponen dalam ekosistem ini merupakan faktor pendukung agar kedua fondasi tersebut dapat dijalankan. Selain itu ada beberapa ekosistem sangat krusial, seperti proppant atau ketersediaan pasir untuk perekahan hidrolik dan kami memiliki sumber daya tersebut di Indonesia, lokal dan belum ditambang.
Deputi Eksploitasi SKK Migas Taufan Marhaendrajana dalam kesempatan yang sama juga menyampaikan bahwa salah satu tantangan besarnya adalah karakteristik alam di Indonesia, yaitu banjir. Dikarenakan lokasi yang dekat dengan sungai dan setiap musim hujan akan mengalami banjir.
“Pekerjaan rumah kami lainnya adalah terkait pembukaan lahan, terutama yang berkaitan dengan pembukaan lahan masyarakat. Banyak inisiatif sedang berlangsung untuk mengatasi tantangan tersebut dan dengan dukungan Pemerintah dan kerja sama semua pihak, saya yakin kita dapat mengatasi masalah ini,” jelas Taufan.
Indonesia membuka peluang kerja sama kemitraan dalam pengembangan migas non-konvensional. Kerja sama tersebut tidak hanya dalam hal investasi dan kolaborasi, tetapi juga inovasi dan transfer teknologi.
Melalui forum ini diharapkan dapat saling berbagi wawasan, ide dan rekomendasi untuk membuka potensi kerja sama non-konvensional, mempercepat penerapan teknologi, menyederhanakan operasi serta menyusun kebijakan yang lebih mendukung investasi MNK di Indonesia. (KDB)