Menurut Dosen ITB H.L. Ong dalam
Simposium Revisi UU Migas di Hotel Le Meridien, Selasa (10/8), fiskal terms
yang bisa diterapkan tanpa perubahan radikal adalah menerapkan konsep cost recovery limit yaitu cost recovery dibatasi 40% dari total
biaya, namun dengan bagi hasil minyak yang lebih besar yaitu 65% untuk
pemerintah dan 35% untuk KKKS. Saat ini, bagi hasil minyak rata-rata
85% untuk pemerintah dan 15% bagi KKKS.
Cost recovery limit yang
diberlakukan pada zaman Ibnu Sutowo ini, kata Ong, menjamin keuntungan bagi
pemerintah dari permulaan dan juga menjamin kemungkinan kerugian jika cadangan
lebih kecil dari pada yang diasumsikan semula ataupun karena adanya over budget dalam operasi yang sering
terjadi.
"Dengan
sistem cost recovery limit,
pemerintah menerima uang dari tahun pertama. Jika menggunakan sistem cost recovery, pemerintah baru akan
menerima uang mulai tahun keenam dan seterusnya," paparnya.
Ong
mengemukakan, dengan menggunakan sistem ini, resiko pemerintah terkurangi,
sementara KKKS lebih leluasa beroperasi dan mempermudah pengawasan karena
adanya kontrol internal dari dalam perusahaan terkait.
Meski
demikian, lanjut Ong, jika dihitung secara keseluruhan, hasil akhir sistem cost recovery dan cost recovery limit tidak ada bedanya. Namun jika proyek terhenti
di tengah jalan karena cadangan kurang ataupun over budget, pemerintah lebih diuntungkan dengan menggunakan sistem
cost recovery limit.
Berdasarkan
data, minat investor yang terlihat dari tingkat pertisipasi dalam tender-tender
wilayah kerja (WK) menunjukkan penurunan. Pada tahun 2005, dari 27 WK yang
ditawarkan, hanya 13 WK yang laku atau 33%. Tahun berikutnya, WK yang diminati
mencapai 40%. Pada tahun 2007, dari 26 WK yang ditawarkan, hanya 14 WK yang
diminati atau 35%. Minat investor meningkat menjadi 40% pada 2008 dimana dari
56 WK yang ditawarkan, 37 WK diantaranya menarik investor. Sedangkan pada 2009,
hanya 3 WK yang diminati dari 24 WK yang ditawarkan atau 11%.