Dirjen Migas Departemen ESDM Evita H. Legowo dalam rapat
kerja mengenai pemanfaatan gas melalui pembangunan small scale LNG plant di Hotel Manhattan, Selasa (1/12),
mengatakan, keterbatasan ketersediaan infrastruktur migas menjadi hambatan
dalam proses penyediaan dan pendistribusian bahan baku dan bahan bakar. Untuk mengatasi hal
itu, diperlukan teknologi yang mampu menjangkau daerah-daerah terpencil dan
daerah yang tidak memiliki sumber daya migas seperti small scale LNG plant. Teknologi ini sudah digunakan di banyak
negara seperti Norwegia.
“Sekarang ini kita sudah tidak dapat lagi hanya
mengandalkan distribusi gas melalui pipa. Dengan menggunakan small scale LNG plant, maka
daerah-daerah yang terpencil dapat terjangkau,†kata Evita.
Lebih lanjut ia mengemukakan, berdasarkan neraca gas, Indonesia masih
mengalami defisit gas untuk kebutuhan dalam negeri. Ini merupakan peluang bagi
investor untuk membangun LNG receiving
terminal, impor LNG dan pengembangan gas metana batu bara (CBM).
“Peluang-peluang tersebut hendaknya dapat dimanfaatkan.
Memang untuk pembangunan small scale LNG
plant, masih dalam tahap pembicaraan awal. Namun ini harus kita persiapkan
bersama-sama,†tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Dick Fuller dari Pendawa
Konsultan memaparkan, small scale LNG
plant yang berkapasitas sekitar 6 MMSCFD, dapat digunakan untuk pembangkit
listrik berdaya 30 MW atau bahan bakar untuksekitar 730 bis yang menempuh jarak 650 km per hari. Indonesia
terutama Pulau Jawa termasuk pasar yang potensial mengingat jaringan pipa gasnya
terbatas, sementara industri berpusat di
Pulau Jawa dan terus berkembang pesat.