Pakai Gross Split, Masa Produksi Migas Lebih Cepat 2-3 Tahun

Jakarta, Pemerintah telah menetapkan paradigma baru pengembangan hulu migas di Indonesia yaitu kontrak bagi hasil gross split. Kontrak ini diyakini dapat mempercepat masa produksi 2-3 tahun dibandingkan menggunakan kontrak bagi hasil cost recovery.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar didampingi Dirjen Migas Kementerian ESDM IGN Wiratmaja Puja dan Wakil Kepala SKK Migas Zikrullah di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (20/1) siang, menjelaskan, dengan menggunakan kontrak bentuk gross split, bisnis proses lebih sederhana dan akuntabel, sehingga waktu yang digunakan dalam pengembangan migas bisa lebih cepat dibandingkan kontrak dengan cost recovery.

Waktu yang dihemat tersebut adalah waktu untuk penyusunan FEED (front end engineering, procurement and construction) hingga EPC (engineering, procurement and construction). Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) diperbolehkan menyusun sendiri tanpa harus melalui pembicaraan panjang dengan SKK Migas. "Dengan demikian, sistem pengadaan (procurement) yang birokratis dan debat yang terjadi saat ini menjadi berkurang," tambah Arcandra.

Sejak tahun 2000-an, menurut Arcandra, dibutuhkan waktu sekitar 15-16 tahun bagi KKKS untuk mengembangkan migas di Indonesia, mulai dari pencarian minyak hingga produksi. Padahal di tahun 70-an, waktu yang dibutuhkan hanya sekitar 5 tahun. Meski tidak dapat kembali seperti tahun 70-an, namun dengan penghematan waktu ini diyakini dapat menekan pengeluaran KKKS sehingga iklim investasi akan lebih menarik.

Dalam kesempatan itu, Wamen juga  membantah kabar bahwa penggunaan kontrak bagi hasil gross split akan memicu membanjirnya tenaga kerja asing sebagai dampak kebebasan yang dimiliki KKKS. Menurut dia, hal itu tidak masuk akal karena gaji tenaga kerja Indonesia justru jauh lebih murah ketimbang tenaga kerja asing. "Tenaga kerja Indonesia terancam kalau (gajinya) lebih mahal. Ini kan tenaga asing yang lebih mahal," tegasnya.

Selain itu pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia juga merupakan salah satu ketentuan-ketentuan pokok yang wajib dimuat dalam kontrak bagi hasil gross split. Ketentuan-ketentuan pokok lain yang wajib dimuat dalam kontrak gross split adalah kewajiban pasca operasi pertambangan, kewajiban pemasokan minyak dan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri, pengalihan hak dan kewajiban, pengutamaan penggunaan barang dan jasa dalam negeri serta pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat.

Penggunaan kontrak bagi hasil gross split ditetapkan Pemerintah dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Penetapan ini dengan pertimbangan bahwa dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas berdasarkan kontrak bagi hasil yang berorientasi pada peningkatan efisiensi dan efektivitas pola bagi hasil produksi migas, perlu diatur bentuk dan ketentuan-ketentuan pokok bagi hasil tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi.

Kontrak bagi hasil gross split adalah suatu kontrak bagi hasil dalam kegiatan usaha hulu migas berdasarkan prinsip pembagian gross produksi tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi.

Kontrak gross split menggunakan mekanisme bagi hasil awal (base split) yang dapat disesuaikan berdasarkan komponen variabel dan komponen progresif. Base split untuk minyak adalah 57% bagian negara dan 43% bagian KKKS. Sedangkan gas, 52% bagian negara dan 48% untuk KKKS.

Dalam hal perhitungan komersialisasi lapangan tidak mencapai keekonomian, Menteri ESDM dapat memberikan tambahan persentase paling banyak 5% kepada KKKS. Sebaliknya, apabila perhitungan komersialisasi lapangan melebihi keekonomian tertentu, Menteri ESDM dapat menetapkan tambahan persentase bagi hasil paling banyak 5% untuk negara dari KKKS. (TW)

Kementerian ESDM
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
Gedung Ibnu Sutowo St. H.R Rasuna Said Kav. B-5, Jakarta 129100
Telp: 021-5268910. Fax: 021-5268979.
Media Sosial
Call Center
136
Copyright © 2024. Kementerian ESDM Ditjen Migas. All Rights Reserved.