Volume LPG bersubsidi setara kerosene 2.973.000 ton dan kerosene
terkonversi sebesar 6.170.000 kilo liter. Jadi total volume BBM dan LPG
bersubsidi mencapai 42.674.779 kilo liter.
Sementara untuk subsidi BBN rata-rata Rp 2.000 per liter. Volume BBN
subsidi mencapai 777.075 kilo liter, dimana bioethanol 1% dan biodiesel 5%.
Angka ini di bawah mandatori karena pelaksanaan disesuaikan dengen ketersediaan
pasokan.
Sedangkan subsidi listrik, naik menjadi Rp 54,5 triliun dari semula Rp
37,8 triliun. Kurs RAPBN-P berubah menjadi Rp 9.500 per dolar AS, turun dari
APBN 2010 yang ditetapkan Rp 10.000 per dolar AS.
Dalam kesempatan tersebut, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian
Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan, dasar penerimaan migas adalah kontrak
kerja sama (KKS). Berdasarkan KKS, atas hasil kegiatan usaha hulu migas setelah
dikeluarkan biaya untuk memproduksi migas, dibagihasilkan antara KKKS dan
Pemerintah.
"Pola bagi hasil (share) antara KKKS dan Pemerintah ditetapkan
dalam KKS," tambah Anggito.
Anggito mengemukakan, atas bagian KKKS, 25% wajib diserahkan kepada
negara dalam rangka penyediaan kebutuhan BBM dalam negeri (domestic market
obligation/DMO). Atas penyerahan DMO tersebut, KKKS mendapat fee (DMO fee).
Selain kewajiban DMO, dalam KKKS diatur bahwa KKKS wajib melakukan
pembayaran pajak-pajak seperti PPs/PPh dan PBDR/PPh pasal 26, namun dibebaskan
dari pajak-pajak dan pungutan lainnya seperti PPBB, PPN dan PDRD.
Mengenai pencatatan penerimaan migas, Anggito memaparkan, total pembayaran
pajak-pajak KKKS dicatat sebagai penerimaan PPh migas. Total bagian pemerintah
(government share) setelah dikurangi dengan pajak-pajak dan pungutan lainnya,
dicatat sebagai PNBP SDA Migas. Sedangkan total hasil penjualan minyak mentah
DMO dikurangi dengan DMO fee yang dibayar kepada KKKS dicatat sebagai PNBP
lainnya dari kegiatan hulu migas.