Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas A. Edy Hermantoro pada
acara 3rd IndoOGP Summit, Rabu (14/4), memaparkan, berdasarkan roadmap CBM, gas dari CBM diharapkan
dapat mulai dihasilkan pada 2011 dan akan digunakan untuk pembangkit listrik
skala kecil bagi masyarakat sekitar WK CBM. Pada 2015, produksi diharapkan mencapai
500 MMSCFD dan 1.000 MMSCFD pada 2010 serta 1.500 MMSCFD pada 2025.
“Gas dari CBM ini rencananya akan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan domestik,†kata Edy.
Untuk mendukung pengembangan CBM, Pemerintah telah
menerbitkan regulasi serta menawarkan split
yang menarik yaitu 60% bagi Pemerintah dan 40% bagi KKKS. Namun jika blok
CBM tersebutberada di daerah frontier, maka split-nya juga lebih besar yaitu 55% untuk Pemerintah dan 45% untuk
KKKS.
Selain itu, Pemerintah memungkinkan KKKS menggunakan kontrak
bentuk lain yaitu Gross Production
Sharing (GPS). Kontrak ini
berarti dari seluruh hasil produksinya, langsung dibagi dua antara pemerintah
dan KKKS, tanpa adanya cost recovery. Artinya, biaya pengembangan CBM
yang dikeluarkan KKKS tidak dibebankan kepada negara. Sedangkan pada sistem
kontrak kerja sama yang berlaku saat ini yaitu Production Sharing Contract (PSC)
merupakan kontrak bagi hasil dengan adanya cost recovery.
Dengan
menggunakan model GPSC, dimungkinkan gas yang telah keluar pada proses dewatering
dimanfaatkan untuk pembangkit listrik skala kecil. Sedangkan jika
menggunakan kontrak bentuk PSC, gas baru bisa diusahakan setelah rencana
pengembangan lapangan (Plan of Development/PoD) ditandatangani.
Potensi CBM Indonesia diperkirakan sekitar 453,3 TCF dan berada
di 11 cekungan. CBM terutama berada di Sumatera dan Kalimantan.