Hal itu dikemukakan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro usai
melakukan pertemuan dengan operator Lapangan Donggi-Senoro yaitu PT Pertamina
dan PT Medco dengan konsumen atau calon pembeli seperti pabrik pupuk, PT PLN
dan PT PGN.
Ia menjelaskan, pihak operator menginginkan tetap
mendapatkan keuntungan yang wajar dari pengembangan lapangan tersebut. Jika
pembeli domestik akan membeli gas itu, maka harus diperoleh kejelasan harga
serta sumber pembiayaan.
"Ini harus serius. Jangan cuma bilang mau beli-beli
saja. Kalau mau beli, konsumen mau beli dengan harga berapa dan financing-nya
dari mana?" ujar Purnomo.
Untuk mengembangkan lapangan itu, biaya yang diperlukan
sekitar US$ 3,7 milyar, dengan perincian US$ 1,7 untuk pengembangan upstream
dan US$ 2 milyar untuk downstream. Dengan estimasi nilai tukar rupiah terhadap
dolar sebesar Rp 10.000, maka biaya yang diperlukan sekitar US$ 37 trilyun.
Dari hasil perhitungan operator, harga gas Donggi-Senoro
di wellhead (mulut sumur) mencapai US$ 6,16 per mmbtu. Jika diangkut ke Pulau
Jawa dan ditambah proses lainnya, maka harga diperkirakan sekitar US$ 12 per
mmbtu. Angka ini sama dengan jika dijual ke Jepang.
Terkait dengan hal itu, maka pemerintah memberi waktu 2
pekan kepada calon pembeli untuk memikirkan hal tersebut. Hasilnya akan
dilaporkan kepada Wapres.
Sebelumnya untuk pengembangan Donggi-Senoro, pihak
operator telah mendapat dukungan dari Mitsubishi dan Bank Jepang (JBIC). Namun
karena gas dari lapangan itu diputuskan untuk konsumen domestik, dikhawatirkan
pihak Jepang menolak membiayai karena tidak mendapat jaminan pasokan gas.
"Kan Jepang nggak mau membiayai kalau mereka nggak
dapat gas," kata Purnomo.