“Kita akan menyusun pedoman dan
mengubah kontrak,†ujar Dirjen Migas Departemen ESDM Evita H. Legowo.
Evita optimis, dengan sejumlah
langkah percepatan yang dilakukan pemerintah, target produksi CBM pada 2011
dapat tercapai.
Dalam kesempatan terpisah,
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Edy Hermantoro menjelaskan, terkait
percepatan pengembangan CBM, pemerintah telah menyusun Tim Task Force yang
diketuai Dirjen Migas dan beranggotakan antara lain BPMIGAS serta KKKS.
“Pihak-pihak terkait menjadi anggota
tim ini agar kerjanya lebih cepat dan terarah,†ujar Edy.
Ia memaparkan, pedoman
pengembangan CBM yang sedang disusun itu akan mengulas secara lengkap tentang
CBM, mulai dari tata cara pengajuan penawaran wilayah kerja, penandatanganan
kontrak hingga pelaksanaan di lapangan, termasuk pemanfaatan gas yang sudah
keluar ketika proses dewatering.
Sementara untuk perubahan klausul
dalam kontrak, kata Edy, pemerintah mempertimbangkan menerapkan klausul dalam
kontrak yang mengatur pemanfaatan gas sebelum persetujuan rencana pengembangan
lapangan I (Plan of Development I/PoD I) ditandatangani.
“Ketika proses dewatering,
gas sudah keluar. Kan tidak mungkin kita biarkan saja,
harus dimanfaatkan. Untuk awalnya memang jumlah gas yang keluar kecil, tapi itu
akan terus bertambah. Pengembangan CBM berbeda dengan pengembangan
minyak dan gas bumi. Karena itu perlakuannya pun berbeda,†ungkap Edy.
Gas yang keluar sebelum PoD
I ini, rencananya akan dimanfaatkan untuk pembangkit listrik PLN bagi
masyarakat yang letaknya dekat dengan lapangan CBM yang berproduksi.
“Nantinya
akan dibangun pembangkit listrik kecil untuk masyarakat sekitar,†tegas Edy.
Salah
satu contoh lapangan CBM yang telah mengeluarkan gas ketika proses dewatering
adalah Lapangan Rambutan yang dikelola Medco. Gas yang keluar dari lapangan tersebut
sekitar 0,005 MMSCFD.
Potensi
CBM Indonesia cukup besar yaitu 453,3 TCF yang tersebar pada 11 cekungan hydrocarbon.
Dari sumber daya tersebut, cadangan CBM sebesar 112,47 TCF merupakan cadangan
terbukti dan 57,60 TCF merupakan cadangan potensial.
CBM adalah
gas alam dengan dominan gas metana dan disertai sedikit hidrokarbon lainnya dan
gas non-hidrokarbon dalam batu bara hasil dari beberapa proses kimia dan
fisika. CBM sama seperti gas alam konvensional yang kita kenal saat ini, namun
perbedaannya adalah CBM berasosiasi dengan batu bara sebagai source rock
dan reservoir-nya. Sedangkan gas alam yang kita kenal, walaupun sebagian
ada yang bersumber dari batu bara, diproduksikan dari reservoir pasir,
gamping maupun rekahan batuan beku. Hal lain yang membedakan keduanya adalah
cara penambangannya dimana reservoir CBM harus direkayasa terlebih
dahulu sebelum gasnya dapat diproduksikan.
CBM
diproduksi dengan cara terlebih dahulu merekayasa batu bara (sebagai reservoir)
agar didapatkan cukup ruang sebagai jalan keluar gasnya. Proses rekayasa
diawali dengan memproduksi air (dewatering) agar terjadi perubahan
kesetimbangan mekanika. Setelah tekanan turun, gas batu bara akan keluar dari
matriks batu baranya. Gas metana kemudian akan mengalir melalui rekahan batu
bara (cleat) dan akhirnya keluar menuju lobang sumur. Puncak produksi CBM bervariasi
antara 2 sampai 7 tahun. Sedangkan periode penurunan produksi (decline)
lebih lambat dari gas alam konvensional.