Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak
dan Gas Bumi (BPMIGAS) R. Priyono mengatakan, kesepakatan ini menjadi prestasi
tersendiri mengingat prosesnya cukup alot sehingga membutuhkan waktu lebih dari
tiga tahun.
“Hal ini sekaligus menunjukkan bagaimana alokasi
penggunaan gas sangat kompleks dampaknya, sehingga kita harus cermat dan
hati-hati,†kata Priyono.
Dia menjelaskan, dari produksi minyak Chevron di
Blok Rokan yang saat ini sebesar 370 ribu barel per hari, sekitar 50 ribu barel
selama ini dicatat sebagai own use, tidak diperhitungkan sebagai lifting.
Chevron memberikan minyak mentah itu ke ConocoPhillips. Sebaliknya,
ConocoPhillips memberikan produksi gas ke Chevron yang digunakan untuk
meningkatkan produksi minyaknya lebih besar.
Dengan kesepakatan itu, mulai 1 Agustus 2010,
produksi 50 ribu barel tersebut dapat dicatat sebagai tambahan lifting.
“Diperkirakan, Pemerintah akan mendapatkan tambahan
penerimaan negara berupa kenaikan kewajiban pasok ke dalam negeri (DMO) sampai
dengan US$ 74 juta (sekitar Rp 700 miliar) setiap tahun, tergantung harga
minyak Duri,†katanya.
Kesepakatan itu juga akan menjamin pasokan gas
jangka panjang yang kritikal untuk mendukung operasi Chevron yang hingga saat
ini sebagai penyumbang terbesar produksi minyak nasional.
Selain perjanjian Amended and Restated Gas Sales
Exchanged Agreement (ARGSEA) dan Amended and Restated Petroleum Transfer
Exchanged Agreement (ARPTEA) dengan Chevron, ConocoPhillips juga menyepakati
perjanjian pemenuhan gas untuk mendukung perindustrian di wilayah Sumatera
Bagian Tengah dan satu perjanjian mendukung peningkatan produksi elpiji
(liquefied petroleum gas/LPG) di Sumatera Selatan. Ditandatangani pula tiga
perjanjian yang mendukung perjanjian-perjanjian jual beli gas tersebut.
“Total seluruh kontrak tersebut mencapai US$ 11,4
miliar,†katanya.
Menurut Priyono,