Jakarta, Pemerintah terus mengupayakan agar industri migas Indonesia lebih atraktif. Salah satu terobosannya adalah dengan menggunakan skema bagi hasil gross split.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM IGN Wiratmaja Puja mengatakan, selama ini investasi migas di Indonesia dianggap investor kurang atraktif sehingga tertinggal dari negara tetangga seperti Malayia dan Vietnam. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang terus menurun, walaupun pada saat harga minyak sedang tinggi, seperti yang terjadi tahun 2012-2013.
“Ibaratkan gadis cantik, bapaknya galak. Aturannya banyak sekali untuk masuk rumah sampai 16 tahun. Jadi yang mau jadi menjauh. Ini yang harus kita benahi,” canda Wirat dalam acara Ngobrol @tempo di Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa (31/1).
Wiratmaja mengatakan, skema bagi hasil gross split menjadi terobosan baru agar program di sektor hulu migas lebih efisien dan efektif. Jangka waktu dari ekplorasi hingga produksi yang sebelumnya bisa mencapai 16 tahun, diharapkan dengan skema gross split bisa dipercepat.
Upaya lainnya yang dilakukan agar industri hulu migas Indonesia menarik investor adalah penyederhanaan perizinan. Perizinan di Ditjen Migas, semula 104 perizinan dan telah .disederhanakan menjadi 42. Dalam waktu satu hingga dua bulan ke depan, akan disederhanakan menjadi tinggal 6 izin saja.
Untuk mempercepat proses perizinan ini, Kementerian ESDM bekerja sama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), telah meluncurkan Pemberian Layanan Cepat Perizinan 3 jam terkait infrastruktur di sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM3J).
Dalam kesempatan tersebut, Wiratmaja juga menjelaskan mengenai Participating Interest (PI) yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10% Pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi.
Sesuai amanat dari aturan tersebut, PI 10% diberikan ke daerah penghasil migas. Untuk menjamin bahwa PI dimiliki daerah maka BUMD 100% harus milik daerah dan untuk dananya akan ditanggung lebih dulu oleh kontraktor dan selanjutnya daerah harus mencicil dari bagian hasil produksi.
Sementara itu mengenai revisi dari PP 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang dianggap sangat menghambat proses program eksplorasi di migas, saat ini sedang dalam proses perbaikan dan diharapkan bulan depan dapat diterbitkan. (DK)