Dibahas, Usulan Peninjauan Kembali Iuran BPH Migas


Usulan peninjauan kembali iuran BPH Migas diajukan oleh PT PGN, PT Transportasi Gas Indonesia (TGI) dan PT Pertagas. Mereka keberatan atas besaran iuran toll fee atau transportasi gas yang ditetapkan pemerintah dalam PP No 1 tahun 2006 yaitu sebesar 2-3% per MMSCF. Angka ini dinilai tidak proporsional jika dibandingkan dengan besaran iuran usaha niaga gas yang 0,3% per MMSCF.

 

“Beban pengeluaran modal yang ditanggung badan usaha niaga relatif lebih rendah dibandingkan badan usaha transportasi, tetapi iuran yang dipungut untuk badan usaha transportasi 10 kali lebih besar,” kata Gugun Manurung dari PT TGI.

 

Besaran iuran BPH Migas ini dianggap memberatkan industri. Mereka mengharapkan agar besaran iuran dapat merefleksikan iklim investasi pada jaringan pipa transmisi.

 

Diakui Gugun, sebelum PP No 1 tahun 2006 ini ditetapkan, telah dilakukan sosialisasi oleh BPH Migas. Jadi mereka telah mengetahui tentang adanya iuran tersebut. Namun mengenai besarannya, tidak pernah dibahas.

 

“Iuran ini memberatkan kami. Apalagi untuk gas dari Sumatera Selatan, kami kena 2 kali yaitu iuran transportasi dan niaga. Kena iuran niaga 0,3% saja sudah berat, apalagi ini kena 2 kali,” kata Bambang Banyudono, Direktur Pengusahaan PT PGN.

 

Sesuai dengan PP No 1 Tahun 2006, iuran dihitung berdasarkan rencana kerja dan anggaran BPH Migas. Berdasarkan UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, iuran ini digunakan untuk membiayai kegiatan operasional BPH Migas.

 

Menanggapi keberatan industri tersebut, Direktur PNBP Ditjen Anggaran Depkeu Mudjo Suwarno mengungkapkan, iuran tersebut bukan dimaksudkan sebagai penerimaan negara, melainkan kegiatan operasional BPH Migas. Besaran iuran ditetapkan oleh Menkeu atas usul BPH Migas yang disetujui oleh Menteri ESDM.

 

“Berdasarkan UU mengenai Keuangan Negara, setiap pungutan di luar pajak dan cukai termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Jadi ini merupakan mekanisme administrasi saja masuk PNBP, bukan untuk penerimaan negara,” katanya.

 

Agar lebih fair, Suwarno menyarankan agar industri dan BPH Migas mendiskusikan bersama berapa kebutuhan operasional BPH Migas dan kemudian dibebankan ke industri dalam bentuk iuran.

 

“Sebisa mungkin disesuaikan dengan kebutuhan BPH Migas. Kalau untuk tepat sekali, ya sulit. Ada resiko bagi negara jika iuran ini kurang memenuhi kebutuhan BPH Migas, maka harus ditanggung APBN. Tapi jika berlebih, sulit dikembalikan,” katanya.

 

Sementara Djaelani Sutomo, VP BBM PT Pertamina juga mempertanyakan mengapa iuran ini juga dikenakan pada BBM yang sebelumnya telah terkena PPN. Akibatnya, jika dibandingkan pasar internasional, harga BBM Indonesia tidak kompetitif.

 

“Kalau bisa dihitung secara cermat berapa sebenarnya kebutuhan BPH Migas karena ini kan kita bayar dimuka. Sebagai gambaran, tahun 2006 kami membayar iuran Rp 293 milyar. Hingga September 2007 ini, kami telah membayar Rp 200 milyar,” papar Djaelani.

 

Pertemuan menyepakati perlunya review iuran BPH Migas dan adanya perangkat aturan atau formula yang memungkinkan dilakukannya perubahan besaran iuran. Dirjen Migas Departemen ESDM Luluk Sumiarso menyatakan akan menyampaikan hasil pertemuan ini kepada Menteri ESDM agar dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan jika akan dilakukan peninjauan kembali atas besaran iuran BPH Migas tersebut. (Copyright by Ditjen Migas)

Kementerian ESDM
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
Gedung Ibnu Sutowo St. H.R Rasuna Said Kav. B-5, Jakarta 129100
Telp: 021-5268910. Fax: 021-5268979.
Media Sosial
Call Center
136
Copyright © 2024. Kementerian ESDM Ditjen Migas. All Rights Reserved.